Kementerian ESDM Akan Rampungkan Aturan Pengelolaan Limbah Batu Bara

ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/foc.
Alat berat beroperasi di kawasan penambangan batu bara Desa Sumber Batu, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Rabu (8/7/2020).
2/4/2021, 08.32 WIB

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih menyusun regulasi mengenai pemanfaatan limbah fly ash (abu terbang) dan bottom ash (abu padat) alias FABA dari pembakaran pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Limbah batu bara ini telah dikeluarkan dari kategori bahan berbahaya dan beracun.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, pemerintah saat ini tengah melakukan finalisasi SOP (Standard Operational Procedure) pengelolaan FABA. Hal ini agar pengelolaan FABA dapat dilakukan secara bertanggung jawab.

"Kami dengan pelaku usaha sedang melakukan finalisasi penyusunan SOP pengelolaan FABA yang nantinya dapat dijadikan acuan dalam kegiatan PLTU dalam mengelola FABA," kata dia dalam diskusi Potensi Pemanfaatan Faba secara virtual, Kamis (1/4).

Menurut dia, dengan dijadikannya FABA sebagai Limbah non B3, bukan berarti pengusaha melupakan tanggung jawabnya melakukan pengelolaan FABA yang mengedepankan prinsip berwawasan lingkungan.

Rida mengatakan perlu adanya akselerasi dalam pemanfaatan FABA melalui dukungan kebijakan untuk mendorong pemanfaatan secara masif. Apalagi potensi FABA di Indonesia cukup besar, mengingat PLTU batu bara dalam beberapa tahun ke depan masih akan mendominasi.

Setidaknya hingga 2030 kebutuhan batu bara diproyeksikan mencapai 140-170 juta ton yang akan menghasilkan FABA sebesar 15 hingga 17 juta ton per tahun.

Di beberapa negara FABA secara luas juga telah dimanfaatkan sebagai material pendukung baik untuk infrastrukur hingga sektor pertanian. Indonesia masih tertinggal karena sebelumnya FABA masuk kategori B3. Padahal negara-negara tersebut mendapatkan batu bara dari Indonesia.

Berdasarkan data 2010, tingkat pemanfaatan FABA di negara luar, khususnya Asia sudah cukup tinggi. Salah satunya di negara Jepang. "Bisa disebutkan Jepang itu telah mencapai hampir 97%. Di Tiongkok yang sumber batu baranya dari Indonesia telah melakukan pemanfaatan 67,1%," ujarnya.

Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Akmaluddin Rachim sebelumnya menyebut langkah ini untuk mengontrol dan meminimalkan risiko. Pemerintah perlu membuat persyaratan yang ketat pengelolaan limbah tersebut. FABA sejatinya adalah limbah kategori B3.

Perubahan status limbah FABA berimplikasi pada banyak hal. "Kebijakan tersebut cenderung memihak pada pengusaha,” katanya. Sanksi hukum yang dikenakan pun bergeser, tidak seberat dan seketat jika limbah FABA sebagai limbah B3.

Dalam bagian penjelasan pasal 459 ayat 3 huruf C Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tertulis, FABA hasil pembakaran batu bara pembangkit listrik tenaga uap (PTLU) tidak termasuk limbah B3.

Limbah ini dianggap memiliki nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan sebagai penunjang infrastruktur. Misalnya, beton pracetak, konstruksi jembatan, batako, paving block hingga semen.

Untuk memanfaatkan limbah itu, menurut Akmaluddin, tetap perlu menerapkan prinsip pengelolaan B3. Prinsip tersebut adalah meminimalkan limbah dan risiko, polluter pays principle (asas pencemar membayar), dan cradle to grave (tidak hanya dimusnahkan, tapi diubah menjadi produk ekonomis dan bermanfaat).

Selain prinsip tersebut, pengelolaan limbah B3 harus dilakukan dengan prasyaratan ketat, mulai dari pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, atau penimbunan. Acuannya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Reporter: Verda Nano Setiawan