Permintaan minyak diramal bakal naik ke rekor tertingginya pada rentang 2022 hingga 2023. Seiring dengan tingginya permintaan, harga minyak juga akan terdongkrak hingga menyentuh US$ 110 per barel.
Kepala peneliti energi Goldman Sachs Damien Courvalin mengatakan bahwa permintaan minyak sudah mencapai rekor tertingginya sebelum varian Omicron menjadi fokus perhatian dunia. Naiknya permintaan minyak juga didorong pulihnya perjalanan udara.
“Kita sudah melihat rekor permintaan tinggi sebelum adanya varian baru ini. Perjalanan udara pulih dan perekonomian global kembali tumbuh. Kita akan melihat rata-rata rekor permintaan minyak tertinggi baru pada 2023 dan pada 2023,” ujar Courvalin seperti dikutip CNBC.com, Jumat (17/12).
Dia juga menambahkan bahwa potensi harga minyak menembus level US$ 100 per barel sangat mungkin terjadi dengan tingginya permintaan.
Harga minyak yang menjadi patokan (benchmark) internasional, Brent dan West Texas Intermediate (WTI) telah melonjak ke atas level US$ 80 per barel dalam beberapa bulan terakhir. Ini dipicu permintaan pasca-pandemi yang melebihi pasokan. Lonjakan harga gas alam juga menyebabkan krisis di dunia, terutama Eropa.
Varian Omicron dinilai telah meredam laju kenaikan harga minyak, meski harga minyak masih naik ke atas level US$ 70 per barel dalam beberapa pekan terakhir. Simak databoks berikut:
Namun Omicron tetap dinilai sebagai ancaman yang dapat membuat pemerintah menerapkan kembali berbagai kebijakan pengetatan dan menganggu permintaan energi.
“Perjalanan udara lambat pulihnya, sebagian karena Asia, dan baru-baru ini Australia, Selandia Baru, dan Singapura sangat agresif membatasi perjalanan internasional. Ini meringankan prospek harga minyak,” ujar Courvalin.
Menurutnya gelombang pandemi ini akan mereda tahun depan dan perjalanan internasional akan pulih kembali. Ia pun memprediksi harga minyak pada 2022 berada pada kisaran US$ 85-95 per barel.
Meski demikian ia tidak mengesampingkan kemungkinan harga minyak menembus level US$ 100 per barel dan menyebut ada dua sentimen yang berpotensi menjadi pendorongnya.
Pertama, naiknya biaya karena perusahaan minyak mulai meningkatkan produksnya. “Ada juga faktor inflasi, dan pada akhirnya menyebabkan kenaikan harga pada jasa perminyakan,” kata Courvalin.
Kemungkinan kedua adalah jika pasokan minyak tidak dapat memenuhi permintaan setelah perekonomian global pulih dari pandemi. Harga minyak bahkan berpotensi tembus ke level US$ 110 per barel jika permintaan sangat tinggi. Tingginya harga ini kemudian akan memukul permintaan.