PT Perusahaan Listrik Negara memastikan kondisi keuangan perusahaan sangat baik meski pemerintah menahan tarif listrik di tengah melambungnya harga komoditas energi.
Executive Vice President Komunikasi Korporat dan CSR PLN Agung Murdifi menjelaskan, kondisi keuangan perusahaan saat ini relatif baik. PLN bahkan telah mempercepat pelunasan utang sebesar Rp 52,5 triliun sepanjang 2020 hingga 2021. Hal ini berdampak pada penurunan Biaya Pokok Penyediaan atau BPP listrik.
"PLN mengalami penurunan beban keuangan hingga Rp 5 triliun pada tahun lalu, dampak dari pelunasan utang lebih cepat tersebut. Hal ini berpengaruh positif dalam penurunan BPP listrik,” kata Agung melalui pesan singkat pada Rabu (30/3).
Penurunan BPP dapat tetap terjadi karena beban bunga utang yang harus dibayar PLN berkurang akibat pelunasan lebih cepat. Di sisi lain, harga batu bara yang masih mendominasi bahan baku pembangkit listrik PLN melonjak sepanjang tahun ini. Harga batu bara Newcastle pada hari ini bertengger di US$ 253,4 per ton.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menilai, PLN sangat terbantu dengan adanya skema penjualan untuk kebutuhan pasar dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) batu bara. Dengan adanya kebijakan ini, PLN hanya perlu membayar harga batu bara sebesar US$ 70 per metrik per ton sesuai ketetapan pemerintah.
Namun demikian, kemampuan PLN untuk memiliki stok batu bara dalam memenuhi kebutuhan bahan bakar listrik sangat bergantung dengan kepatuhan pengusaha memenuhi kewajiban DMO sebesar 25 persen dari total produksi mereka. Dengan kondisi tersebut, Bhima menilai tarif dasar listrik tak perlu naik.
“Dengan kondisi tersebut, kenaikan tarif dasar listrik masih bisa ditahan, baik golongan subsidi maupun golongan nonsubsidi,” kata Bhima saat dihubungi via sambungan telepon pada Rabu (30/3), malam.
Ia berharap tarif listrik tak akan naik hingga tahun depan, terutama untuk listrik rumah tangga golongan hingga 3.500 VA. Jika pun PLN terpaksa menaikkan tarif listrik, menurut dia, pemerintah sebaiknya menyasar golongan industri.
"Hal ini dimungkinkan terjadi karena lonjakan permintaan energi listrik perkantoran yang sudah mulai terisi," kata dia.
Subsidi Energi Bengkak
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengatakan lonjakan harga komoditas energi berdampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). "Karena tidak melakukan perubahan harga BBM dan tarif listrik, maka kami harus bayar kompensasi ke PLN dan Pertamina," kata Sri Mulyani, Senin (28/3).
Pemerintah saat ini memiliki utang kepada PT Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara mencapai Rp 109 triliun yang merupakan kewajiban pembayaran kompensasi atas penyelenggaraan subsidi energi hingga akhir tahun lalu. Utang kompensasi tersebut terdiri atas sisa kewajiban tahun 2020 sebesar Rp 15,9 triliun.
Nilai tersebut berasal dari kompensasi harga jual eceran bahan bakar minyak atau HJE BBM kepada Pertamina. Kewajiban pembayaran kompensasi pada 2020 sebenarnya mencapai Rp 63,8 triliun tetapi sebagian besar sudah dilunasi pada tahun lalu. Selain itu, pemerintah juga memiliki sisa kewajiban kompensasi untuk tahun 2021 sebesar Rp 93,1 triliun. Ini terdiri atas kompensasi HJE BBM kepada Pertamina sebesar Rp 68,5 triliun dan kompensasi tarif listrik ke PLN sebesar Rp 24,6 triliun.
"Inilah yang disebut shock absorber. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengambil seluruh shock yang berasal dari kenaikan harga minyak dan biaya penyediaan listrik," katanya.
Sri Mulyani menjelaskan, pemerintah tidak menaikkan harga BBM dan tarif listrik meski harga minyak dunia dan komoditas melonjak hingga saat ini demi menjaga daya beli masyarakat. Kebijakan ini kemungkinan akan berlanjut hingga akhir tahun ini.