Harga Minyak Mentah Indonesia Diprediksi Naik Hingga 50% Tahun Ini

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Dua orang petugas bekerja di area Refinery Unit V Pertamina Balikpapan Kalimantan Timur (22/7).
Penulis: Happy Fajrian
10/6/2022, 15.48 WIB

Harga minyak mentah Indonesia, Indonesian Crude Price (ICP) diramal masih akan mengalami kenaikan sepanjang tahun ini. Bahkan kenaikannya bisa mencapai 50% dari level 2021.

Hal tersebut disampaikan sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso. Saat ini harga minyak dunia sudah mencapai sekitar US$ 120 dolar per barel karena adanya konflik di Rusia dan Ukraina

Sedangkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) asumsi harga ICP adalah 63 dolar AS per barel. "Jadi ini tinggi sekali karena konflik Rusia dan Ukraina semakin meningkatkan harga energi," ujarnya dalam media briefing Global Crisis Response Group (GCRG), Jumat (10/6).

Tak hanya harga ICP, ia menyebutkan harga gas alam di Eropa pun meningkat 10 kali lipat dibandingkan 2020 lantaran terhambatnya pasokan yang sebagian besar berasal dari Rusia.

Terkait biaya transportasi, terjadi pula disrupsi seperti tingginya biaya terutama pengangkutan kargo melalui laut, kelangkaan kontainer, dan kesulitan di kapal laut.

Sebelumnya Kementerian ESDM mengumumkan ICP Juni 2022 naik 6,93% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi US$ 109,61 per barel. Kenaikan ini dipicu kebijakan larangan impor minyak Rusia oleh Uni Eropa yang menaikkan harga minyak dunia.

Naiknya harga minyak dunia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, embargo minyak Rusia oleh Eropa yang meningkatkan kekhawatiran pasar dan mengakibatkan semakin terganggunya pasokan minyak mentah global.

Ini terjadi di tengah ketatnya di saat permintaan BBM dan bahan bakar jet menjelang puncak summer driving season di AS dan Eropa meningkat. Selain itu, keterbatasan pasokan minyak mentah global dikarenakan produksi OPEC+ lebih rendah 1,5 juta bopd dibandingkan kuota produksi.

Adapun konflik Rusia dan Ukraina tak hanya menyebabkan krisis energi, tetapi juga terkait pangan yang tercermin dari data PBB melaporkan jumlah penduduk rawan pangan meningkat dua kali lipat akibat pandemi Covid-19 yang belum selesai dan diperparah konflik kedua negara.

Dia menjelaskan kondisi tersebut meningkatkan jumlah penduduk dunia rawan pangan dari 135 juta menjadi 276 juta, bahkan hanya dari efek perang yang berkelanjutan antara kedua negara saja telah menyebabkan peningkatan kembali jumlah penduduk rawan pangan menjadi 323 juta.

"Rata-rata indeks harga makanan FAO pada Mei 2022 bahkan sudah melonjak menjadi 157,4. Jadi kenaikan harga pangan ini sudah tinggi sekali di pasar global," tambahnya.

Maka dari itu untuk mengatasi krisis pangan, Susiwijono yang juga merupakan Sherpa GCRG menyarankan jalur produksi pangan yang ada di Ukraina dan Rusia terutama terkait pangan pokok dan pupuk harus diintegrasikan, karena masih belum ada solusi efektif di luar langkah tersebut.

Sementara terkait ketahanan energi yang perlu didorong adalah masalah menjaga pasokan energi, hingga investasi untuk beberapa energi alternatif yang saat ini sudah mulai dijajaki.

Walau skemanya sudah berjalan, namun ia menilai kebutuhannya semakin mendesak untuk beberapa energi alternatif dan beberapa kapasitas dari negara-negara dunia di dalam krisis ini. "Political wiil yang kuat juga diperlukan di semua forum multilateral seperti GCRG, G20, hingga G7," tukas Susiwijono.

Reporter: Antara