Harga minyak turun signifikan dalam sepekan terakhir dari kisaran US$ 122-124 per barel mendekati US$ 110 per barel atau lebih dari 8% pada awal pekan ini, Senin (20/6). Anjloknya harga minyak dipicu kekhawatiran perlambatan pertumbuhan ekonomi yang akan menekan permintaan energi.

Minyak jenis Brent hari ini berada di level US$ 112,13 per barel. Padahal pada pekan lalu sempat menyentuh US$ 124 per barel. Sementara minyak mentah Amerika Serikat (AS), West Texas Intermediate (WTI) di level US$ 108,87 dari sebelumnya sempat menyentuh US$ 123 per barel.

“Jelas faktor makro yang mendorong harga minyak saat ini, bukan fundamental, yang masih mendukung," kata kepala analis komoditas ING, Warren Patterson, seperti dikutip Reuters, Senin (20/6).

Analis pasar CMC Tina Teng mengatakan harga minyak yang lebih rendah disebabkan oleh kekhawatiran resesi yang luas setelah bank sental AS, the Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin, yang diikuti oleh bank sentral lain di dunia.

Minyak dari Rusia, eksportir terbesar kedua di dunia, tetap berada di luar jangkauan sebagian besar negara karena sanksi negara Barat atas invasi Moskow ke Ukraina. Dampaknya sebagian telah dimitigasi dengan pelepasan cadangan minyak strategis dan peningkatan produksi dari OPEC+.

Namun dua upaya tersebut membuat daya redam dunia terhadap potensi gangguan pasokan berikutnya berkurang. “Jika pelepasan cadangan AS berlanjut, cadangan strategis AS akan mencapai level terendah 40 tahun 358 juta barel pada Oktober," kata analis ANZ dalam sebuah catatan.

Impor minyak mentah Cina dari Rusia, bagaimanapun, melonjak 55% dari tahun sebelumnya ke level rekor pada Mei, menggusur Arab Saudi sebagai pemasok utama, karena penyuling merealisasikan keuntungan dari diskon besar yang diberikan Rusia.

Di sisi lain, produksi minyak dan gas AS meningkat. Menurut laporan perusahaan jasa energi Baker Hughes Co , jumlah rig minyak dan gas, yang menjadi indikator awal produksi masa depan, naik menjadi 740 dalam seminggu hingga 17 Juni, tertinggi sejak Maret 2020.

Sementara itu di Libya, salah satu anggota OPEC , produksi minyak tetap bergejolak menyusul blokade oleh kelompok-kelompok di timur negara itu.

Menteri Perminyakan Libya Mohamed Oun mengatakan bahwa total produksi negara itu sekitar 700.000 barel per hari (bph). Produksi Libya telah turun menjadi 100.000 hingga 150.000 barel per hari, kata juru bicara kementerian perminyakan pekan lalu.

Di tempat lain, ekspor produk minyak dari Cina, yang pernah menjadi eksportir utama, terus menurun, membuat pasokan global tetap ketat.

Menurut data bea cukai Cina, ekspor bensin pada Mei turun 46% dari tahun sebelumnya dan ekspor solar anjlok 93% meskipun permintaan domestik terhenti, karena perusahaan kekurangan kuota ekspor.