Harga minyak mengalami penurunan tajam selama sepekan terakhir dipicu kekhawatiran resesi global yang mengancam permintaan energi. Meski demikian, Goldman Sachs memprediksi harga minyak masih akan terus naik meski dunia dilanda resesi karena ketatnya pasokan.
Bank investasi global itu memperkirakan harga minyak berpotensi mencapai US$ 140 per barel. “US$ 140 per barel masih jadi perkiraan dasar kami,” kata analis energi Goldman Sachs, Damien Courvalin, seperti dikutip dari CNBC.com, Jumat (8/7).
Menurut dia, harga minyak masih tinggi karena pasar masih dibebani masalah ketidaksesuaian penawaran dan permintaan. Tidak seperti ekuitas yang merupakan aset antisipatif di mana investor bisa melepasnya sebelum harganya turun.
Corvalin menjelaskan bahwa harga minyak akan terus naik selama enam bulan pertama sejak penurunan pasar, didukung oleh ketatnya pasokan karena persediaan terus berkurang.
“Akhirnya, harga minyak terseret oleh ekonomi yang melambat. Goldman melihat hal itu terjadi lagi, bahkan jika kita sedang menuju resesi—setidaknya pada awal resesi,” kata dia.
Permintaan yang kuat dan pasar yang ketat kali ini diperparah oleh kurangnya investasi selama bertahun-tahun dalam eksplorasi minyak, menciptakan masalah pasokan jangka panjang yang kebal terhadap pemulihan cepat apa pun.
Goldman masih melihat Brent tenggelam ke US$ 85 jika pertumbuhan PDB di luar Cina mencapai nol, tetapi pasokan minyak mentah yang ketat akan menahan penurunan harga lebih lanjut.
Prediksi Goldman untuk minyak US$ 140 bahkan ketika harga minyak mentah turun minggu ini, dan bahkan ketika beberapa orang takut akan resesi. Minyak mentah WTI dan Brent menguat pada Kamis, berkat pudarnya sentimen yang sebelumnya membuat kedua harga minyak acuan global itu turun di bawah US$ 100 per barel.
“Pasar secara fundamental tetap ketat, tetapi faktor sementara termasuk rencana Cina yang baru-baru ini diumumkan untuk mempertimbangkan stimulus US$ 220 miliar dengan penjualan obligasi dan kekhawatiran resesi telah membuat harga minyak bergerak liar minggu ini,” kata Courvalin.
Pada Kamis sore, harga WTI dan Brent berbalik naik cukup signifikan. WTI diperdagangkan naik 4,23% menjadi US$ 102,70, sedangkan minyak mentah Brent naik 3,95% menjadi US$104,70 per barel. “Pasar energi adalah lingkungan di mana kita membutuhkan satu dekade investasi ke depan,” kata Courvalin.
Senada, kepala analis Shell Plc., Malika Ishwaran memprediksi bahwa harga minyak masih akan tinggi dan volatil setidaknya hingga dua tahun ke depan karena gangguan pasokan, salah satunya perang Rusia-Ukraina.
“Eropa telah menjatuhkan sanksi terhadap Rusia, untuk sepenuhnya meninggalkan minyak dan gas Rusia dalam dua tahun. Ini akan membuat harga energi tinggi dan bergejolak dalam dua tahun itu,” ujarnya.
Setelah itu, lanjut Malika, pasar minyak akan menyesuaikan dengan hadirnya pasokan baru dari Amerika Serikat (AS) dan negara-negara OPEC untuk menggantikan minyak Rusia. “Pasar gas kemungkinan terdisrupsi lebih lama karena kita perlu membangun kapasitas LNG,” ujarnya.
Dalam jangka panjang harga akan kembali normal. Malika menyebut pada dasarnya ketatnya pasokan energi dunia saat ini salah satunya juga disebabkan transisi energi dari bahan bakar fosil ke bahan bakar rendah karbon.
“Transisi membuat investasi pada migas turun, sementara investasi energi baru naik. Ini membuat pasar energi memiliki fleksibilitas yang sangat kecil. Sehingga gangguan sekecil apapun akan menghasilkan pergerakan harga yang besar,” kata dia.