Harga Minyak Anjlok, Citi Prediksi Bisa Sentuh US$ 65 pada Akhir Tahun
Harga minyak mentah dunia turun tajam pada Rabu (6/7) di tengah meningkatnya kekhawatiran terjadinya resesi ekonomi global. Ekonom Citi memperkirakan harga minyak dapat turun lebih signifikan sampai akhir tahun ini dipengaruhi beberapa faktor.
“Harga minyak mentah bisa jatuh ke US$ 65 per barel pada akhir tahun ini dan merosot ke US$ 45 pada akhir tahun 2023 jika terjadi resesi yang akan melumpuhkan permintaan energi,” kata analis Citi Francesco Martoccia dan Ed Morse, seperti dikutip Bloomberg, Rabu (6/7).
Adapun prospek turunnya harga minyak lebih dalam lagi didasarkan pada tidak adanya intervensi oleh negara-negara produsen yang tergabung dalam OPEC dan sekutunya, atau OPEC+, serta turunnya investasi di sektor ini.
Harga minyak acuan dunia, Brent, turun mendekati US$ 100 per barel pagi ini, tepatnya di level US$ 103,2. Padahal kemarin Brent masih berada di level US$ 114. Bahkan pekan lalu Brent sempat menyentuh US$ 120 per barel.
Sementara minyak mentah Amerika Serikat (AS), West Texas Intermediate (WTI) kini turun di bawah US$ 100 per barel, tepatnya US$ 99,81. Pekan lalu WTI sempat mencapai US$ 113 per barel.
Harga minyak telah melonjak signifikan sepanjang tahun ini seiring mulai pulihnya perekonomian yang memacu permintaan barang dan jasa yang meningkatkan inflasi, serta melonjaknya permintaan energi di saat produksi minyak global belum kembali ke kapasitas penuhnya.
Di sisi lain, kondisi geopolitik menciptakan disrupsi terhadap pasokan yang sudah ketat. Seperti perang Rusia-Ukraina yang membuat negara Barat menjatuhkan sanksi terhadap pasokan energi Rusia, serta sanksi Amerika terhadap minyak Iran dan Venezuela.
Meski demikian ekonom Citi meyakini bahwa Amerika tidak akan masuk ke dalam resesi. “Untuk minyak, bukti historis menunjukkan bahwa permintaan minyak menjadi negatif hanya ketika resesi global terburuk. Tapi harga minyak jatuh pada setiap resesi hingga ke level biaya marjinalnya,” kata ekonom Citi.
Kekhawatiran resesi telah menyeret harga minyak turun dalam beberapa pekan terakhir. Harga minyak turun pertama kalinya dalam delapan bulan terakhir pada Juni setelah pasar mulai resah tentang kenaikan suku bunga agresif dari bank sentral, termasuk The Fed.
Kenaikan suku bunga ini bertujuan untuk mengendalikan inflasi. Seperti diketahui Amerika mencatatkan rekor inflasi tertinggi dalam empat dekade terakhir di level 8,6%.
Kepala peneliti komoditas global Citi, Ed Morse, telah memiliki pandangan yang bearish pada harga minyak selama berbulan-bulan. Pada Juni ia mengatakan bahwa harga minyak mentah dunia saat ini sudah overvalued dan seharusnya berada di kisaran US$ 70 per barel.
Bank lain memiliki pandangan yang lebih bullish pada minyak, terutama Goldman Sachs. Kepala penelitian komoditas global Goldman Sachs, Jeffrey Currie, mengatakan bahwa risiko kenaikan minyak mentah dan produk olahan sangat tinggi sekarang.
Menurut Currie, kemunduran harga minyak baru-baru ini bisa menjadi peluang pembelian karena harga kemungkinan naik lebih tinggi pada musim panas ini. Currie memperkirakan harga minyak bisa naik ke US$ 140 per barel.
“Pada akhirnya, satu-satunya cara untuk memecahkan masalah ini adalah dengan meningkatkan investasi, jadi kami tetap berpegang pada harga minyak kami yang bergerak ke US$ 140 di musim panas, dan itu berpotensi naik lebih tinggi,” ujarnya.