Pemerintah menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp 7,9 triliun per tahun melalui penerapan kebijakan pemberlakuan harga gas bumi tertentu atau HGBT.
Seperti diketahui, pemerintah telah memberlakukan HGBT senilai US$ 6 per juta British thermal unit (MMBTU) untuk tujuh sektor industri. Ketujuh sektor tersebut antara lain, industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet.
Mengutip laporan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Pembina Industri Ahli Madya Direktorat Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Tri Ligayanti mengatakan, besaran nominal pendapatan negara itu diperoleh dari selisih manfaat pendapatan pajak senilai Rp 23,10 triliun dengan biaya fiskal insentif HGBT sejumlah Rp 15,2 triliun.
"Dengan asumsi pendapatan negara dikorbankan adalah US$ 3 per MMBTU, diperkirakan total biaya fiskal yang ditanggung negara adalah Rp 15,2 triliun, sehingga manfaat bersih yang diterima negara yakni Rp 7,9 triliun per tahun," kata Tri dalam Forum Diskusi Kebijakan Implementasi HGBT di Hotel Westin, Jakarta, Rabu (26/10).
Lebih lanjut, kata Tri, Pandemi Covid-19 telah menurunkan tingkat kapasitas produksi tujuh sektor industri sebesar 4%. Namun, setelah pemberian HGBT senilai US$ 6 per mmbtu, tingkat produksi di tujuh sektor industri tersebut kembali naik sekitar 7,3%.
Secara umum, penyerapan gas bumi pada tahun 2021 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2020. Di sisi lain, meski terdapat penambahan alokasi HGBT, penyerapan gas murah naik dari 77,5% pada tahun 2020 menjadi 85,9% pada tahun 2021.
"Rencana investasi sampai 2025 rinciannya 7 sektor dapat terlihat terbesar dari sektor Pupuk dan Petrokimia. Jadi total rencana investasi yang sedang berjalan dan diharapkan terealisasi semua sampai 2025 mencapai Rp 191 triliun," ujar Tri.
Di lokasi yang sama, Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) meminta pemerintah meluaskan cakupan industri yang berhak memperoleh HGBT senilai US$ 6 per juta MMBTU.
Ketua Umum FIPGB, Yustinus Harsono Gunawan, mengatakan langkah ini ditujukan untuk meningkatkan produktivitas industri manufaktur.
Sejumlah pabrikan yang bergerak di luar sektor peneriman HGBT seperti industri kimia, industri makanan dan minuman telah bertemu dengan FIPGB. Mereka berharap permintaannya dilanjutkan pada Kementerian ESDM.
"Selain ada permintaan tambahan dari beberapa perusahaan kimia, industri makanan dan minuman juga sangat mengusulkan, sektor makanan dan minuman itu potensinya sangat besar," kata Yustinus.
Dia menilai, sebagai salah satu tulang punggung nasional, industri manufaktur perlu mendapat dukungan lebih lanjut dari pemerintah, salah satunya melalui sokongan suplai gas murah.
"Semua industri sudah mengajukan, tapi tinggal bagaimana ini kemampuan celengan pemerintah mudah-mudahan negara dapat windfall revenue sehingga hasilnya bisa dibagi selain untuk subsidi kepentingan publik, juga ke industri manufaktur," ujar Yustinus.