PLN mengklaim berhasil menghemat beban take or pay senilai Rp 40 triliun dari renegoisasi pembangkit listrik dengan sejumlah independent power producer (IPP). Hal ini dilakukan untuk mengurangi tanggungan kelebihan listrik alias oversupply.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menyampaikan bahwa PLN terus berupaya untuk mengurangi suplai listrik dari proyek pembangkit listrik 35 gigawatt (GW) dengan mengundurkan jangka waktu hingga membatalkan kontrak pembangunan pembangkit listrik.
“Kami sebut sebagai renegosiasi, sehingga kami berhasil mengurangi beban take or pay sekitar Rp 40 triliun,” ujar Darmawan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, Rabu (8/2).
Sejauh ini PLN masih terus menanggung oversupply listrik yang dihasilkan dari sejumlah pembangkit baru bara, gas dan sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Hal ini lantaran rendahnya tambahan permintaan listrik.
Seperti di Jawa, daya listrik dalam satu tahun ke depan akan bertambah 6.800 megawatt (MW), namun permintaan hanya naik 800 MW. Di Sumatera, penambahan permintaan listrik sampai 2025 diperkirakan hanya 1,5 GW, dengan penambahan daya listrik mencapai 5 GW. Sama halnya di Kalimantan dan Sulawesi bagian selatan.
Dalam laporan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 PLN memproyeksikan produksi listrik dalam negeri pada 2022 mencapai 6,4 terawatt jam (TWh) dan penjualan listrik 6,3 TWh. Simak databoks berikut:
Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi 4,32%, PLN memproyeksikan beban puncak listrik atau beban pemakaian listrik sebanyak 925 megawatt (MW) dengan jumlah 2,246,076 pelanggan. Proyeksi beban pemakaian listrik pun semakin meningkat dalam 1 dekade mendatang.
Pada tahun 2030, PLN memperkirakan dengan pertumbuhan ekonomi 3,31%, penjualan listrik sebesar 10,617 GWh dan produksi 11,480. Jumlah pelanggan pada 2030 diramal mencapai 2,471,779 dan beban puncak listrik mencapai 1,495 MW.
Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah mengatakan kondisi oversupply listrik domestik berpotensi membengkak seiring masuknya pasokan dari energi baru dan terbarukan (EBT). Di sisi lain, pertumbuhan permintaan listrik hanya mencapai 5-6% setiap tahun.
Kondisi ini menimbulkan beban bagi keuangan negara karena pemerintah tetap menanggung oversupply tersebut. "Karena memang take or pay, ya harus bayar, setiap 1 gigawatt itu Rp 3 triliun meskipun dia nggak bisa diapa-apain," kata Said dalam rapat panja RAPBN 2023, Senin (12/9/2022).