RI Ajak Brunei, Malaysia, Filipina Bangun Interkoneksi Listrik 500 Kv

Katadata | Arief Kamaludin
Ilustrasi jaringan listrik.
31/3/2023, 13.28 WIB

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM menginisiasi proyek interkoneksi ketenagalistrikan bersama Brunei Darussalam, Malaysia dan Filipina (BIMF) dengan mendorong terbentuknya nota kesepahaman diantara badan usaha ketenagalistrikan untuk mengimplementasikan interkoneksi tersebut.

Proyek itu akan meniru skema interkoneksi LTSM yang sudah berjalan di wilayah Laos, Thailand, Singapura dan Malaysia. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Jisman P. Hutajulu, mengatakan kerja sama ini akan dilaksanakan lewat skema antar pemerintah atau G to G dengan proyeksi evakuasi daya listrik minimal 500 Kilovolt (Kv).

Menurut Jisman, seluruh listrik yang disalurkan akan berasal dari sumber energi terbarukan. Proyek jangka panjang ini merupakan rangkaian dari rencana jaringan listrik terintegrasi di Asia Tenggara bernama 'ASEAN Power Grid'.

"Atau bahkan nanti kalau teknologinya sudah memadai bisa di 1.000 Kv," kata Jisman saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (31/3).

Jisman menambahkan, empat Menteri Energi yang tergabung di dalam proyek interkoneksi BIMF tengah melakukan studi kelayakan untuk menentukan besaran kapasitas salur listrik, infrastruktur hingga investasi yang wajib dikeluarkan oleh masing-masing negara.

Dia menuturkan bahwa proyek interkoneksi BIMF bakal lebih menguras pembiayaan ketimbang jaringan interkoneksi eksisitng LTSM. Alasannya, proyek tersebut akan dihubungkan melalui infrastrukur jaringan kabel bawah laut.

"LTSM ini basisnya di darat, pastinya lebih mudah. Bayangkan untuk ke Filipina ini laut dalam. Namum mengenai pembiayaan infrastrukur secara spesifik masih belum," ujar Jisman

Berdasarkan laporan Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA), ASEAN membutuhkan pembiayaan sebesar US$ 29,4 triliun pada tahun 2050 untuk pelaksanaan transisi energi dengan 100% energi baru dan terbarukan. Kawasan ASEAN memiliki sumber energi baru dan terbarukan yang progresif, yaitu lebih dari 17.000 gigawatt (GW).

Modal ini cukup baik untuk merealisasikan target porsi energi baru dan terbarukan pada bauran energi mencapai 23%, dan porsi 35% energi baru dan terbarukan pada kapasitas pembangkit pada 2025 sesuai ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC).

Lebih lanjut, kata Jisman, studi kelayakan yang sudah berjalan pada tahun ini akan menargetkan landing point atau titik pusat stasiun interkoneksi pada masing-masing negara. Rencananya, landing point di Indonesia akan terletak di Pulau Kalimantan. Pemilihan lokasi tersebut dilandasi oleh letaknya yang dekat dengan Brunei Darussalam.

Setelah menentukan landing point, empat negara akan berunding untuk merumuskan fasilitas yang terdiri dari infrastruktur darat dan kabel laut. Indonesia sejauh ini sudah menerapkan teknologi kabel laut untuk jaringan listrik Jawa-Bali.

"Kemudian nanti akan ada prioritas, tidak mungkin dibangun serentak karena laut itu luas sekali. Soal mau kirim dari mana ke mana itu yang nanti dipikirkan," kata Jisman.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu