Indonesia dinilai berpeluang untuk menekan impor minyak dan gas melalui pemanfaatan bioetanol untuk energi. Salah satunya yaitu dengan mencampurkan bioetanol ke dalam BBM jenis bensin.
Perekayasa Ahli Utama Pusat Riset Agroindustri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Agus Eko Tjahjono mengatakan bahwa bioetanol banyak dipakai untuk minuman, bahan baku atau penunjang berbagai industri, dan saat ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan bakar.
Adapun optimalisasi produk tersebut dapat mengurangi kuota impor minyak dan gas. “Bioetanol merupakan oksigenat yang dapat dicampurkan ke dalam bensin yang mampu meningkatkan angka oktan dan menyempurnakan pembakaran di dalam mesin,” kata Agus, Kamis (15/6).
Bila dibandingkan bahan bakar minyak setara oktan 90, pemanfaatan etanol sebagai campuran bahan bakar minyak bisa mengurangi hingga 90% emisi karbon dioksida.
Meski secara sains energi alternatif ini mampu berkontribusi terhadap penurunan emisi, namun penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar masih menghadapi beberapa tantangan yang perlu diselesaikan oleh para pemangku kepentingan.
Agus menuturkan bahwa investasi yang tidak murah, bahan baku terbatas, serta harganya yang mahal menyebabkan bioetanol tidak berkembang di Indonesia. Bahkan, sebagian industri di dalam negeri menggunakan molases yang merupakan komoditas ekspor.
Dia menjelaskan upaya meningkatkan keekonomian bioetanol, yaitu kebutuhan energi diupayakan dari sisa biomassa bahan baku, menekan biaya investasi pabrik, meningkatkan efisiensi proses, dan menciptakan by product dan co-product.
“Indonesia memiliki sumber bahan baku yang melimpah, beberapa bahan baku, bahan berpati atau bergula telah tersedia tanpa harus melakukan penyediaan lahan dan budidaya, serta jumlahnya melimpah, seperti tanaman sagu,” kata Agus.
Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa sagu sebagai kandidat bahan baku yang layak secara ekonomi untuk pengembangan industri bioetanol di Indonesia.
Sagu dikenal dengan tanaman produktivitas pati atau gula yang tinggi dan belum termanfaatkan dengan optimal dan memiliki sisa biomassa yang mencukupi sebagai sumber energi proses (listrik dan panas), serta pemanfaatan hutan sagu yang dilakukan dengan benar tidak akan merusak lingkungan.
“Dapat diintegrasikan dengan pengembangan berbagai co-product dan pemanfaatan by product untuk meningkatkan keekonomiannya sehingga potensial untuk pengembangan ekonomi hijau berbasis sagu,” kata Agus.
Dia menyarankan pengembangan industri bioetanol perlu dikembangkan konsep pabrik bioetanol yang terintegrasi. Hal ini meliputi kombinasi sistem panas dan energi, pemanfaatan by product, serta pengelolaan atau pemanfaatan limbah.
Selain itu untuk meningkatkan keekonomiannya perlu pula diupayakan adanya co-product, sehingga tercipta industri berkelanjutan yang menerapkan prinsip-prinsip biorefinery yang diupayakan menghasilkan energi, pangan, dan bahan bermanfaat lainnya.
“Pada akhirnya industri ini bukan hanya menghasilkan bioetanol saja tetapi menjadi industri terintegrasi berbasis sagu,” tukas Agus.
Perkembangan Impor Migas Indonesia
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan volume impor minyak dan gas (migas) Indonesia meningkat 5,61 juta ton menjadi 47,74 juta ton pada 2022, sedangkan volume ekspornya turun 8,66% menjadi 24,56 juta ton.
Alhasil, volume perdagangan migas nasional mengalami defisit 23,18 juta ton pada 2022. Volume defisit tersebut meningkat 52,13% dibanding 2021, sekaligus menjadi defisit terbesar sejak 2010.
Dalam dua dekade terakhir, Indonesia pertama mencatat defisit perdagangan migas pada 2013, kemudian di tahun-tahun berikutnya defisit kian melebar seperti terlihat pada grafik berikut:
Pada 2022 nilai impor migas Indonesia juga melonjak 58,32% menjadi US$ 40,42 miliar, sementara nilai ekspor migas hanya meningkat 30,8% menjadi US$ 16,02 miliar.
Dengan demikian neraca perdagangan migas Indonesia juga mengalami defisit senilai US$ 24,4 miliar pada 2022, meningkat 83,69% dibanding nilai defisit 2021 yang hanya US$ 13,28 miliar.
Kondisi ini tampaknya terjadi karena belum ditemukannya sumur-sumur baru yang dapat mendorong lifting migas nasional, sedangkan produksi dari sumur migas existing semakin terbatas.
Di sisi lain, ekonomi domestik yang terus tumbuh membutuhkan sumber energi yang lebih banyak, jauh melampaui kemampuan produksi migas nasional. Pemerintah pun harus menambah impor minyak mentah dan minyak olahan guna memenuhi kebutuhan tersebut.