Pengusaha produsen bauksit menegaskan bahwa pembangunan smelter masih terus berjalan dan membantah tudingan pemerintah yang mengatakan proyek ini mangkrak yang berdampak ditutupnya keran ekspor.
Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) menyerukan bahwa pembangunan smelter masih terus berjalan meski pemerintah tidak memberikan perpanjangan izin ekspor kepada pelaku usaha yang ditutup pada 10 Juni lalu.
Pelaksana Harian Ketua Umum APB3I, Ronald Sulistyanto, mengatakan bahwa pelaku usaha masih berupaya untuk menyelesaikan komitmen pembangunan smelter bauksit meski perkembangannya berjalan secara perlahan.
"Pembangunan smelter tidak mangkrak, jalan terus kok. Hanya saja persentasenya kecil dan progresnya pelan. Belum bisa pada tingkat struktur yang tinggi karena nilainya mahal," kata Ronald kepada Katadata.co.id saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Senin (19/6).
Menurut Ronald, pengadaan smelter bauksit membutuhkan rata-rata belanja modal senilai US$ 1,2 miliar atau setara Rp 18,6 triliun untuk membuat satu unit smelter dengan kapasitas pengolahan 6 juta ton bijih bauksit menjadi 2 juta ton alumina per tahun.
Besaran modal itu jauh lebih tinggi dari kebutuhan untuk membangun smelter nikel. Ronald juga menyinggung pernyataan pemerintah yang mengatakan capaian pembangunan smelter bauksit mangkrak karena kondisi lapangan yang masih berupa lapangan tanah.
Dia beranggapan bahwa progres pembangunan smelter yang masih berupa lapangan kosong tidak bisa dijadikan tolak ukur dalam penilaian smelter mangkrak.
Alasannya, kata Ronald, para pelaku usaha juga telah membangun sarana dan prasarana seperti akses jalan menuju smelter dan pelabuhan. Selain itu, pengusaha juga telah mengeluarkan biaya untuk pembebasan dan pembersihan hutan hingga mengurus hak guna bangunan.
"Kegiatan itu semua pakai uang dan kalau tidak dianggap sebagai kerjaan, lalu apa namanya? Kecuali jika masih hutan belantara dan belum ada patok apapun, baru bisa disebut mangkrak," ujar Ronald.
Kementerian ESDM pada Februari lalu merilis capaian pembangunan delapan unit smelter yang laporan progresnya tak sesuai dengan realitas pembangunan di lapangan.
Delapan pabrik pemurnian tersebut adalah milik PT Borneo Alumina Indonesia dengan kemajuan proyek 23,67%, PT Dinamika Sejahtera Mandiri 58,55%, PT Persada Pratama Cemerlang 52,61%, dan PT Sumber Bumi Marau dengan 50,05%.
Selain itu, juga ada laporan dari PT Quality Sukses Sejahtera yang menyatakan progres pembangunan pabrik pemurnian telah berjalan 57,20%, PT Parenggean Makmur Sejahtera 58,13%, PT Laman Mining 32,39% dan PT Kalbar Bumi Perkasa 37,25%.
Adapun Pembangunan smelter Kalbar Bumi Perkasa terhenti karena investor menghentikan pendanaan setelah izin usaha pertambangan perusahaan dicabut oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Kedelapan pabrik pemurnian itu ditaksir sanggup mengolah 23,88 juta ton bijih bauksit menjadi 8,98 juta ton alumina secara tahunan. "Jadi jangan dibilang mangkrak kalau sudah persentase 30% sampai 50% karena itu sudah berproses," kata Ronald.
Sebelumnya Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba), Irwandy Arif, mengatakan bahwa sejumlah perusahaan telah melaporkan capaian pembangunan pabrik pemurnian kepada Kementerian ESDM.
"Delapan ini sedang proses, ada yang melaporkan 50%, 30%, 18%. Dan ketika diperintahkan oleh Pak Menteri untuk tinjau ke lapangan, delapan-delapannya masih tanah," kata Irwandy saat menjadi pembicara di agenda Mining for Journalist di Cisarua, Bogor pada Sabtu (25/2).
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan progres pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian bauksit belum menunjukkan kemajuan yang signifikan, bahkan cenderung berantakan. Hal ini menjadi kabar negatif mengingat larangan ekspor bauksit mulai berlaku pada Juni 2023.
"Kemarin kunjungan di lapangan banyak yang masih berantakan smelternya, tidak sesuai apa dengan apa yang dilaporkan," kata Arifin saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (6/1).
Di sisi lain, Arifin tetap mendorong pelaku usaha bauksit untuk melanjutkan pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan mineral atau smelter meski komoditas mineral tersebut tak mendapatkan relaksasi larangan ekspor yang mulai berjalan pada 10 Juni 2023.
"Ya harusnya pelaku usaha bauksit mau bangun smelter, dong. Ada kerjasama lah, prinsipnya kita bangun smelter untuk buat nilai tambah di dalam negeri. Masa iya mau ambil untungnya saja, sementara negara diberi sisa-sisa," ujarnya di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (9/6).