Harga minyak tergelincir pada Selasa (27/6) jelang rilis data ekonomi Amerika Serikat (AS) terkait potensi penurunan permintaan bahan bakar selama musim mengemudi pada musim panas ini. Di sisi lain struktur harga Brent yang mulai menunjukkan kemunduran dari bullish.
Minyak mentah Brent terpantau turun US$ 1,34 atau 1,81% ke level US$ 72,84 per barel. Sementara minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) juga turun US$ 1,34 atau 1,93% ke level US$ 68,26 per barel.
Data inventaris A.S. dari kelompok industri American Petroleum Institute akan dirilis pada hari Selasa, diikuti oleh data pemerintah pada hari berikutnya. Sebuah jajak pendapat Reuters menunjukkan inventaris AS mungkin turun dalam seminggu hingga 23 Juni.
Pasar minyak telah mengabaikan bentrokan antara Moskow dan kelompok tentara bayaran Rusia Wagner yang dihindari pada hari Sabtu. Pemuatan minyak Rusia tetap sesuai jadwal.
“Gelombang geopolitik terbaru dengan cepat menjadi tidak berarti dibandingkan dengan pertimbangan ekonomi makro yang terus-menerus,” kata Tamas Varga dari PVM seperti dikutip dari Reuters, Selasa (27/6). “Ini terjadi meskipun Arab Saudi berjanji untuk memangkas produksi mulai Juli.”
Banyak hal bergantung pada apakah permintaan minyak Cina meningkat di paruh kedua. Perdana Menteri Li Qiang mengatakan Cina akan mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan permintaan dan memperkuat pasar, tanpa memberikan rincian.
“Permintaan bensin global tumbuh sebesar 365.000 bph secara tahunan, didorong oleh data konsumsi bensin AS yang kuat, dengan konsumsi pada level tertinggi delapan minggu sebesar 9,4 juta bph pada pekan yang berakhir tanggal 17 Juni 2023,” kata analis JP Morgan dalam sebuah catatan.
Harga minyak mentah naik 1% pada Senin (26/6) setelah pasukan tentara bayaran Wagner yang dipimpin oleh Yevgeny Prigozhin membatalkan perjalanannya menuju Moskow, sekaligus mencegah upaya kudeta terhadap Vladimir Putin.
Sejumlah pakar keuangan memproyeksikan harga minyak ke depan tergantung pada bagaimana gejolak jangka pendek yang akan terjadi pada akhir pekan ini. Analis Makro Bloomberg Intelligence, Mike McGlone, mengatakan komoditas minyak mentah di pasar saat ini mengalami sentimen penurunan harga atau bearish.
Meski begitu, McGlone yakin posisi minyak masih jauh dari titik terendah, mengingat Federal Reserve masih memperketat kebijakan moneternya dalam upaya meredakan ekonomi dan menurunkan inflasi kembali ke tingkat 2%.
“Saya melihat minyak mentah menuju US$ 50, bahkan mungkin US$ 40 per barel. Gas alam telah melakukannya. Dari US$ 10 menjadi US$ 2," kata McGlone, dikutip dari Yahoo Finance Live.
Pimpinan Lipow Oil Associates, Andrew Lipow, mengatakan bahwa kondisi gejolak politik di Rusia mendapat atensi yang kuat, mengingat volatilitas minyak mentah pada tahun 2022 terjadi setelah konflik bersenjata Moskow-Ukraina.
“Peristiwa di Rusia mengarahkan pasar untuk mempertimbangkan berapa banyak produksi dan ekspor minyak Rusia dapat terpengaruh jika Wagner mengambil lebih banyak wilayah atau jika Rusia jatuh ke dalam perang saudara,” kata Andy.
Satu suara dengan McGlone, Andy juga melihat potensi bearish pada pasar minyak mentah global seiring langkah Presiden Putin yang akan mencoba mengekspor minyak Rusia untuk mengumpulkan uang demi membayar pendukung sekaligus menjaga kesetiaan tentara di sisinya.
McGlone menambahkan, kondisi harga minyak mentah yang melandai selama setahun terakhir terjadi karena Federal Reserve menaikkan suku bunga untuk mencoba menekan inflasi dan menghasilkan kondisi kredit yang lebih ketat serta meningkatkan kekhawatiran akan resesi.