Sejumlah negara telah berkomitmen untuk melakukan transisi energi guna mencapai Net Zero Emission (NZE) 2050. Namun, permintaan terhadap batu bara di Asia masih terus tumbuh. Bahkan, sektor tersebut dinilai akan menjadi bagian dari bauran energi selama beberapa dekade mendatang.
Menurut laporan Reuters, para pemain industri batu bara tidak yakin energi baru terbarukan (EBT) dapat dimanfaatkan dengan hemat, cepat, dan dalam skala yang cukup untuk menyingkirkan bahan bakar fosil dari bauran energi Asia.
Deputi Investasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan, kenyataannya hingga saat ini dan di masa depan, permintaan baru terhadap batu bara akan terus meningkat di tengah naiknya isu transisi energi.
“Pandangan dari pelaku pasar, mulai dari penambang, trader, utilitas, dan pejabat pemerintah, menunjukkan bahwa batu bara tetap menjadi alternatif energi yang lebih murah dan aman," ujar Septian dalam Konferensi Coaltrans Asia yang diadakan di Bali, seperti dikutip Reuters, Jumat (29/9).
Septian mengatakan, sejumlah negara di Asia menilai perlu biaya yang cukup mahal untuk beralih secara cepat ke EBT. Alhasil, diperlukan investasi dalam jumlah yang besar untuk menata ulang jaringan listrik guna memasukkan pembangkit listrik tenaga angin dan surya, serta menerapkan kemampuan pembangkitan listrik untuk mendukung energi terbarukan. “Misalnya, pembangkit listrik tenaga gas, pembangkit listrik tenaga air yang dipompa, dan penyimpanan baterai,” kata dia.
Biaya panel surya dan turbin angin relatif murah jika dibandingkan dengan membangun pembangkit listrik tenaga batu bara, namun infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung energi terbarukan tersebut tentu tidaklah murah. Hal ini yang menjadi perhatian utama negara-negara Asia.
MenurutReuters, harga batu bara saat ini memang masih terbilang tinggi menurut standar historis. Akan tetapi, harga batu bara masih jauh lebih murah dibandingkan minyak mentah dan gas. Hal inilah yang menjadi daya tarik dari sektor batu bara.
Global Energy Monitor mencatat bahwa Cina, India, dan Indonesia saat ini sedang membangun 89% pembangkit listrik tenaga batu bara. Meski ketiga negara ini juga mengembangkan energi terbarukan, faktanya mereka juga meningkatkan penggunaan batu bara.
Untuk diketahui, pemerintah Indonesia berupaya melakukan transisi energi, salah satunya dengan membuat skenario emisi karbon rendah (low carbon) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Dalam skenario itu pemerintah menargetkan pengurangan persentase energi fosil termasuk batu bara, sembari menambah persentase EBT dalam bauran energi nasional.
Kendati ada penurunan secara persentase, volume kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik Indonesia diproyeksikan akan tetap meningkat. Hal itu seiring dengan adanya rencana penambahan PLTU dalam satu dekade ke depan.
Berdasarkan RUPTL, selama periode 2021-2030 Indonesia berniat menambah kapasitas PLTU sebesar 13,8 ribu megawatt (MW). Bersamaan dengan itu, dalam skenario low carbon RUPTL, kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik diperkirakan cenderung naik sampai 2030.
RUPTL juga memprediksi volume emisi karbon dari pembangkit listrik akan tetap bertambah, meski persentase energi fosil dalam bauran energi berkurang.