Kementerian ESDM menyampaikan bahwa saat ini pemerintah belum ada mitigasi khusus terhadap melonjaknya harga minyak mentah dunia akibat konflik antara Israel dan Hamas di Palestina.
“Belum (ada mitigasi), tapi kalau mitigasi terhadap fluktuasi harga kan kita udah punya formula-formula kalau dengan penjualan gas misalnya, itu ada formulanya,” kata Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM, Noor Arifin Muhammad ditemui di APOGCE 2023, Jakarta, Selasa (10/10).
Dia mengaku baru menerima kabar naiknya harga minyak pada pagi ini. Namun jika nantinya terjadi windfall, maka ini meningkatkan pendapatan negara. Namun dia memastikan kondisi lonjakan harga sudah diantisipasi sebelumnya.
“Jadi itu udah ada diantisipasi sebelum ini, karena kan kita punya pengalaman Covid yang dimana dari turun banget terus tiba-tiba naik,” ujarnya.
Dia memaparkan bahwa saat ini Kementerian ESDM masih dalam tahap penjajakan dan mengamati kondisi saat ini. Dia berharap adanya peningkatan kinerja Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). “Iya, karena nanti kan ada windfall ya. Kita alami bersama berarti kan ada capital flow, mesti bisa digunakan untuk development,” ucapnya.
Terkait kenaikan harga ini, Arifin berkelakar keadaan ini sedikit melegakan. “Di oil and gas kalau harga tinggi itu berarti kita semua bisa agak lebih lega ya,” sebut Arifin.
Arifin juga menjelaskan bahwa pemerintah saat ini belum mengambil keputusan apapun terkait kondisi lonjakan harga, termasuk menggenjot produksi Pertamina. “Kalau itu, kalau sampai segitu belum. Kalo formulasi harga terhadap naik turunnya udah punya kita di dalam setiap kontrak itu ada,” tuturnya.
Harga Minyak Kembali Dekati US$ 90 per Barel
Harga minyak pagi ini sedikit turun setelah sebelumnya terjadi lonjakan pada Senin akibat konflik antara Israel dan Palestina. Minyak mentah Brent turun menjadi US$ 87,85 per barel, sementara minyak West Texas Intermediate (WTI) AS turun menjadi US$ 86,07.
“Masih banyak ketidakpastian di pasar menyusul serangan di Israel pada akhir pekan,” kata analis ING dikutip dari Reuters pada Selasa (10/10).
Analis ING juga mengatakan harga minyak dapat lebih meningkat apabila Iran turut terlibat dalam konflik tersebut. “Karena kami memperkirakan AS akan menerapkan sanksi minyak terhadap Iran dengan lebih ketat. Hal ini akan semakin memperketat pasar yang sudah ketat,” tambah analis ING dikutip dari Reuters.
Analis energi CBA, Vivek Dhar mengatakan konflik Israel-Palestina meningkatkan risiko harga Brent berjangka berada di US$ 100 per barel atau lebih. “Kami tetap percaya bahwa minyak Brent pada akhirnya akan stabil di kisaran US$ 90-100 per barel pada Q4 2023,” kata Dhar.