Sekilas Nikel Indonesia yang Jadi Fokus Bahasan Jokowi dan Joe Biden

ANTARA FOTO.pool via Reuters-van Vucci/hp. U.S. President Joe Biden, center, and Indonesian President Joko Widodo arrive for the first session of the G20 Summit, in New Delhi, India, Saturday, Sept. 9, 2023. Evan Vucci/Pool via REUTERS
Presiden Indonesia Joko Widodo (kanan) dan Presiden AS Joe Biden (kedua kanan) tiba untuk sesi pertama KTT G20, di New Delhi, India, Sabtu (9/9/2023),
Penulis: Mela Syaharani
13/11/2023, 18.16 WIB

Presiden Joko Widodo sedang mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden di Gedung Putih, Washington DC, pada Senin (13/11). Beberapa laporan menyebutkan adanya rencana pembicaraan yang intens untuk mencapai kesepakatan di bidang mineral penting, khususnya nikel.

Reuters melaporkan, Jokowi dan Biden akan membahas cara memajukan kemitraan mineral potensial yang bertujuan untuk merangsang perdagangan nikel logam baterai kendaraan listrik (EV), dan langkah-langkah formal untuk menjalin kemitraan.

Indonesia berupaya untuk masuk ke dalam ekosistem industri baterai kendaraan listrik AS seiring besarnya insentif dari Undang-Undang Pengurangan Inflasi (Inflation Reduction Act/IRA) untuk industri teknologi bersih, termasuk industri baterai kendaraan listrik, yang nilainya mencapai US$ 370 miliar.

“Namun Pemerintah AS masih mengkhawatirkan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) di Indonesia dan sedang mengkaji bagaimana kesepakatan tersebut bisa berjalan,“ kata sumber tersebut seperti dikutip Reuters pada Senin (13/11).

“Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan sebelum kami dapat secara resmi mengumumkan perundingan mengenai kemitraan mineral penting,” kata sumber tersebut.

Selain itu berdasarkan IRA, nikel Indonesia tidak masuk kualifikasi untuk mendapatkan subsidi atau insentif karena Indonesia tidak memiliki hubungan FTA atau Free Trade Agreement dengan Amerika.

Sebab ada syarat material baterai harus diproduksi atau dirangkai di Amerika Utara, dengan ketentuan sebelum 2024 minimal harus 50%, 2024/2025 minimal 60%, 2026 minimal 70%, 2027 minimal 80%, 2028 minimal 90%, dan setelah 2028 harus 100% diproduksi atau dirangkai di Amerika.

“Pemerintahan Biden juga sedang mendiskusikan cara untuk mendapatkan nikel apa pun yang diekstraksi dari Indonesia tetapi diproses di Cina untuk menerima kredit IRA,“ kata sumber lainnya menambahkan.

Namun, kurangnya kepatuhan terhadap ESG kemungkinan besar akan menimbulkan hambatan yang lebih besar terhadap kerja sama lebih lanjut dengan AS.

Banyak pihak di AS mempertanyakan standar ESG dari operasi penambangan dan pemrosesan nikel di Indonesia. Dominasi Cina di sektor pertambangan dan pemrosesan nikel kemungkinan besar akan membuat AS ragu-ragu menjadi perantara kesepakatan mengenai mineral-mineral penting.

Cadangan dan Produksi Nikel Terbesar Dunia

Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Kementerian ESDM mengatakan Indonesia memiliki sekitar 5 miliar ton cadangan nikel. “Kita punya cadangan 5 miliar ton, saprolit 3,5 miliar ton, limonit 1,5 miliar ton,” kata Direktur Pembinaan Program Minerba Ditjen Minerba, Tri Winarno.

Menurut data Badan Geologi Kementerian ESDM pada 2020, Indonesia menguasai 52% cadangan nikel dunia, diikuti Australia dengan 15%, Brasil 8%, Rusia 5%, dan negara lainnya 20% seperti Kuba, Filipina, Cina, Kanada, dan sebagainya.

Sementara itu dari sisi produksi, Badan Survei Geologi AS (USGS) melaporkan pada 2022 Indonesia memproduksi 1,6 juta metrik ton bijih nikel, naik dari 1 juta metrik ton pada 2021, dan 771 ribu metrik ton pada 2020.

Produksi Indonesia pada 2022 menjadi yang terbesar di dunia, hampir lima kali lipat produksi Filipina yang terbesar kedua di dunia sebesar 330 ribu metrik ton. Produksi bijih nikel Filipina pada 2022 tercatat turun dari 370 ribu metrik ton pada 2021.

Sementara itu menurut data Mineral One Data Indonesia (MODI) milik Kementerian ESDM, bijih nikel diolah menjadi feronikel dan nikel matte. Produksi feronikel naik dari 97 ribu ton pada 2015, hingga mencapai produksi tertinggi pada 2021 mencapai 1,58 juta ton.

Pada 2022 produksi feronikel menurun tiga kali lipat menjadi 516 ribu ton saja. Hingga 13 November ini, selama 2023 Indonesia berhasil memproduksi 344 ribu ton feronikel. Angka ini jauh lebih turun dibandingkan 2022.

Sementara itu produksi nikel matte naik dari 82 ribu ton pada 2015 dan mencapai puncaknya 72 ribu ton pada 2019. Kendati demikian, produksi nikel matte sempat menunjukkan peningkatan pada 2020 mencapai 91 ribu ton.

Akan tetapi peningkatan ini hanya terjadi pada tahun pertama pandemi Covid-19, karena setelahnya jumlah produksi nikel matte kembali menurun ke angka 76 ribu ton pada 2022 dan turun drastis pada 2023 menjadi 4,25 ribu ton.

Kembali dari sisi cadangan, Kementerian ESDM mengatakan belum ada rencana penambahan cadangan nikel seiring belum adanya eksplorasi dan temuan baru.

Volume ekspor

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari-Mei 2023 volume ekspor nikel tercatat sebesar 458 ribu ton hingga Mei 2023, naik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 211 ribu ton (yoy).

Dalam periode tersebut, Cina menjadi negara dengan volume ekspor terbanyak pada periode tersebut, mencapai 394 ribu ton nikel. Volume berat bersih itu naik signifikan dari periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) Mei 2022 yang sebanyak 153 ribu ton

BPS mencatat valuasi ekspor Cina mencapai US$2,09 miliar pada Mei 2023. Nilai FOB itu meningkat dari sebelumnya yang sebesar US$1,19 miliar (yoy). Di bawah Cina ada Jepang dengan volume cukup jauh, yakni 39,05 juta kg nikel per Mei 2023. Angka itu juga naik dari volume ekspor sebelumnya yang mencapai 28,47 juta kg (yoy).

Norwegia juga tercatat sebagai negara tujuan pengiriman nikel yang cukup besar pada Mei 2023, yakni 24,24 juta. Namun pada tahun lalu, Norwegia tidak tercatat sebagai penerima nikel dari Indonesia.

Selanjutnya, Korea Selatan, dengan volume 555 ribu kg. Volume ini ambrol cukup jauh dari sebelumnya yang sebesar 19,36 juta (yoy).

Penurunan ekspor secara signifikan juga terjadi kepada Malaysia, yang mencapai 92,66 ribu kg pada Mei 2023. Padahal, Malaysia pernah menerima 10,53 juta kg nikel dari Indonesia tahun lalu.

Reporter: Mela Syaharani