Tahun 2023 menjadi tahun yang tidak baik bagi sektor batu bara. Hal ini seiring dengan anjloknya harga batu bara dari kisaran US$ 300 per ton pada awal tahun kini merosot di bawah US$ 150 per ton.
Meski begitu, Ketua Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batu Bara (Aspebindo) Anggawira mengatakan pada 2024 keadaan industri batu bara akan lebih baik.
“Tren ekonomi sudah membaik, nanti akan terjadi rebound. Tapi mungkin harganya hanya meningkat 10-20% jika ada kenaikan,” ujarnya saat ditemui Katadata.co.id dalam acara Indonesia Mining and Energy Conference (IMEC) 2023 di Jakarta pada Selasa (19/12).
Angga menyebut tidak akan ada kenaikan harga besar seperti era pandemi Covid-19 karena Cina sendiri yang merupakan pasar batu bara terbesar bagi Indonesia sudah menimbun stok. Kendati demikian, Angga menjelaskan negara-negara Asia Selatan berpotensi mengalami pertumbuhan ekspor batu bara Indonesia.
“Namun secara finansial agak sulit karena ada beberapa financial institution yang tidak mendukung ekspor ini sehingga transaksinya agar terhambat,” jelas Angga.
Angga mengakui bahwa pertumbuhan industri yang terjadi di India dan Bangladesh berpotensi menjadi market baru bagi Indonesia. “Tapi sekali lagi perlu dukungan dari financial institution,” kara dia.
Mengenai 2024, Angga menyebut dalam industri dalam negeri yang menjadi tantangan adal harga komoditas itu sendiri. “Dinamika itu yang memang terus menerus harus dicarikan solusinya, karena ada disparitas antara harga dalam negeri dan harga di luar. Itu yang mungkin perlu ada satu rumusan ada win win solution,” ujarnya.
Pencarian solusi bersama ini menitik beratkan pada keadaan dimana biaya yang dikeluarkan para penambang mineral semakin mahal.
Apalagi semakin lama eksplorasi dilakukan maka beban biaya yang dikeluarkan akan semakin besar. “Perlu ada rumusan utk bisa mengakomodir biaya produksi yang dilakukan para penambang,” jelas dia.
Tidak hanya batu bara, Angga juga menyebut soal proyek mineral lainnya. “Kalau dalam konteks mineral lain pasti pertumbuhannya cukup tinggi apalagi kalau beberapa smelter sudah beroperasi atau berjalan pasti penyerapannya di dalam negeri trennya cukup naik,” ucap dia.
Selain proyeksi 2024, Angga turut menjelaskan alasan tren harga komoditas yang menurun pada akhir 2023 ini. Dia menyebut hal ini salah satunya disebabkan oleh ada persentase ekspor yang menurun akibat musim dingin yang tidak terlalu dingin atau mild weather.
Meski ekspor menurun, Angga menyebut kinerja pemakaian domestik justru mengalami kenaikan. “Ini sangat dinamis karena menyangkut berbagai situasi geopolitik. Tapi kalau pun ada kenaikan tidak akan terlalu tinggi kalau saya lihat,” kata dia.