Harga minyak merosot lebih dari 1% pada Selasa (20/2) seiring pasar yang lebih mengkhawatirkan prospek lemah permintaan energi di masa depan dibandingkan pasokan ketat akibat konflik di Timur Tengah.
Minyak mentah Brent turun US$ 1,22, atau 1,5% ke level US$ 82,34 per barrel. Sedangkan minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat untuk pengiriman April turun US$ 1,30 atau 1,4% menjadi US$ 77,04 per barel.
Washington kembali memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai perang Israel-Hamas, memblokir permintaan untuk gencatan senjata kemanusiaan. Akan tetapi, AS justru mendorong sebuah resolusi yang mengaitkan gencatan senjata dengan pembebasan sandera Israel oleh Hamas.
Serangan-serangan untuk mendukung Palestina terhadap kapal-kapal di Laut Merah dan selat Bab al-Mandab oleh kelompok Houthi yang bersekutu dengan Iran di Yaman terus memicu kekhawatiran akan arus barang yang melewati jalur perairan yang kritis tersebut.
Serangan pesawat tak berawak dan rudal telah menghantam setidaknya empat kapal sejak Jumat (16/2). Meski konflik di Timur Tengah, yang merupakan wilayah utama penghasil minyak dunia, investor lebih mengkhawatirkan prospek permintaan yang lemah. Hal ini menekan harga minyak.
Cina mengumumkan penurunan suku bunga acuan hipotek terbesar yang pernah ada, terbesar sejak suku bunga referensi diperkenalkan pada tahun 2019 dan jauh lebih besar dari perkiraan para analis.
“Fakta bahwa pasar minyak mentah belum memberikan respons yang lebih positif menunjukkan betapa dalamnya masalah permintaan minyak di Cina,” kata John Kilduff, partner di Again Capital LLC di New York, seperti dikutip dari Reuters pada Rabu (21/2).
Laporan Badan Energi Internasional (IEA) pekan lalu merevisi turun perkiraan pertumbuhan permintaan minyak tahun 2024, menjadi hampir satu juta barel per hari lebih rendah dari perkiraan kelompok produsen OPEC.
IEA memperkirakan permintaan minyak global akan tumbuh sebesar 1,22 juta barel per hari (bph) tahun ini dibandingkan dengan proyeksi OPEC pertumbuhan sebesar 2,25 juta bph.
Keduanya tidak sepakat mengenai peralihan ke energi terbarukan dan lebih ramah lingkungan. IEA, yang mewakili negara-negara industri, memperkirakan permintaan minyak akan mencapai puncaknya pada tahun 2030 sementara OPEC memperkirakan penggunaan minyak akan terus meningkat selama dua dekade mendatang.
Namun pada awal perdagangan pagi ini, harga minyak terpantau bangkit. Brent naik 12 sen atau 0,15% menjadi US$ 82,46 per barel, sedangkan WTI naik 9 sen atau 0,12% ke US$ 77,13 per barel.
Dorongan harga minyak berasal dari kekhawatiran para investor atas pemangkasan produksi oleh produsen-produsen utama dunia, serangan terhadap kapal kargo di Laut Merah, dan ekspektasi penurunan suku bunga acuan AS yang meredup.
Kekhawatiran bahwa penurunan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed) dapat memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan telah membebani prospek permintaan minyak.
Data inflasi AS minggu lalu mendorong kembali ekspektasi untuk dimulainya siklus pelonggaran The Fed dalam waktu dekat, dengan para ekonom yang disurvei oleh Reuters sekarang memperkirakan penurunan pada Juni mendatang.