Kementerian Perindustrian meminta agar seluruh sektor industri dapat menikmati kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) atau gas murah, tidak terbatas pada tujuh industri saja.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan kebijakan itu dapat membuat ketersediaan energi kompetitif, sehingga mampu menggaet investasi domestik. Agus menganggap sektor industri manufaktur merupakan tulang punggung pertumbuhan perekonomian dalam negeri.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan rencana perluasan sektor penerima gas murah melalui kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) perlu kajian ulang. Meskipun menurut Komaidi, program ini memiliki tujuan positif.
Menurut Komaidi, jika pemerintah menginginkan perluasan sektor penerima HGBT, perlu melihat kembali manfaat yang akan diterima oleh berbagai pihak atas perluasan ini.
“Jika perluasan ini ditujukan untuk membantu industri manufaktur atau sektor industri, masih banyak variabel lain yang bisa dioptimalkan, selain harga gas,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (29/2).
Terlebih menurut Komaidi, harga gas ini berkaitan dengan pembahasan sektor energi dan merupakan hal sensitif. “Daripada nanti indutsri gasnya tidak berkambang dan nanti kita sepenuhnya bergantung dari impor tentu akan memberatkan di masa yang akan datang,” kata dia.
Oleh karena itu dia menilai perluasan kebijakan ini perlu dikaji lebih dalam oleh pemerintah, karena tujuannya yang positif. “Pemerintah memproyeksikan kebijakan ini akan menyebabkan berkurangnya penerimaan negara dari industri hulu gas namun akan dikompensasi dari penerimaan pajak dari sektor penerima harga gas,” ujarnya.
Sebagai informasi, kebijakan gas murah diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Berdasarkan aturan tersebut, terdapat tujuh sektor yang mendapatkan harga gas bumi tertentu sebesar US$ 6 per MMBTU yakni pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet.
Namun Komaidi menyebut, berjalannya HGBT belum sesuai dengan proyeksi awal. “Kalau dari data yang ada, penerimaan pajaknya belum sesuai dengan yang diproyeksikan di awal. Artinya biayanya masih jauh lebih tinggi dibandingkan margin yang diperoleh dari sisi penerima,” ujarnya.
HGBT 2023 Tidak Terserap 100%
Sebelumnya SKK Migas mengungkapkan bahwa penyerapan gas murah industri melalui kebijakan HGBT pada 2023 realisasinya di bawah 100%, yakni 95-96%. Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi menyebut terdapat beberapa kendala yang menyebabkan gas murah industri tidak dapat terserap 100%.
“Kami sedang melakukan evaluasi dan memang faktornya cukup banyak. Pertama ada faktor dari hulu itu sendiri,” ujarnya dalam webinar bertajuk "Menelisik Kesiapan Pasokan Gas untuk Sektor Industri dan Pembangkit Listrik" pada Rabu (28/2).
Faktor hulu migas meliputi rencana-rencana produksi yang mengalami kendala operasional. “Mengakibatkan ada alokasi yang sudah direncanakan dalam kepmen jadi ada sedikit fluktuasi kadang meningkat dan mungkin ada penurunan,” ujarnya.
Kedua, ada faktor dari sisi midstream dan downstream. “Karena ada industri yang dalam tanda kutip belum mampu menyerap karena kendala operasional atau karena turn around mungkin sedang shutdown sementara atau dapat alternatif energi, kami sedang lakukan pendalaman,” ucapnya.
Selain itu, Kurnia juga melihat adanya hal lain yang turut berpengaruh yakni faktor ketidakcukupan bagian negara untuk menjaga bagian kontraktor tetap utuh.
“Karena sebenarnya kebijakan HGBT ini berjalan di tengah-tengah tahun 2020 2021 dan seterusnya di mana pada saat itu sudah ada harga awal PJBG yang disepakati antara KKKS produsen dan para pembeli,” kata dia.
HGBT yang tidak dapat terserap 100% ini menurut Kurnia secara otomatis mengurangi penerimaan negara. “Saat ini sedang kami coba evaluasi dan kalau saya mencatat mungkin jumlahnya di 2023 ini bisa mencapai lebih dari US$ 1 miliar potensi penurunan penerimaan negara. Namun ini masih angka-angka sementara,” ujarnya.