Pemerintah masih mengkaji rencana menghentikan operasional 13 pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia menyebut belum ada target waktu pelaksanaan pensiun dini PLTU tersebut.
Ia hanya mengatakan Kementerian ESDM akan melaksanakan rencana itu. "Belum ada target tapi kami akan melakukan. Saya kan baru sebulan jadi menteri," ucapnya seusai menghadiri acara "Green Initiative Conference 2024" di Jakarta, Rabu (25/9).
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi sebelumnya mengatakan ada 13 PLTU yang masuk dalam rencana pensiun dini. Pemilihan pembangkit ini berdasarkan studi internal bersama Institut Teknologi Bandung dan United Nations Office for Project Services (UNOPS).
Beberapa pembangkit yang masuk dalam daftar tersebut adalah PLTU Suralaya di Cilegon, Banten; PLTU Paiton di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur; dan PLTU Ombilin di Sijantang Koto, Sumatera Barat.
Eniya mengatakan pensiun dini pembangkit batu bara akan melalui Keputusan Menteri ESDM. Dari aturan tersebut, Kementerian akan membentuk peta jalan atau roadmap penghentian operasi PLTU.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya memberi sinyal perubahan arah kebijakan pensiun dini PLTU. Ia menyebut operasional pembangkit berbahan bakar batu bara itu tidak menjadi masalah. Pemerintah akan mengembangkan fasilitas penyimpanan dan penangkapan karbon atau CCS untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia.
"PLTU tidak apa-apa. Kami akan mengembangkan carbon capture storage," kata Airlangga di kantornya, Jakarta, Rabu (25/9). Pemerintah sedang melakukan uji coba pelaksanaan fasilitas tersebut.
CCS adalah teknologi penangkap emisi gas rumah kaca, untuk mencegah polusi udara terlepas ke atmosfer. Emisi yang tertangkap kemudian disimpan di bawah tanah secara permanen. Potensi CCS di Indonesia mencapai 400 sampai 600 gigaton, artinya seluruh emisi di dalam negeri dapat disimpan dengan teknologi ini selama 322 sampai 482 tahun.
Rencana pensiun dini PLTU kini mengalami kendala karena kebutuhan biaya yang sangat besar. Berdasarkan kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), biayanya mencapai US$ 4,6 miliar (sekitar Rp 69,5 triliun) hingga 2030 dan US$ 27,5 miliar (sekitar Rp 415,7 triliun) hingga 2050.