Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan biodiesel dengan campuran bahan nabati B-50 belum bisa diterapkan pada awal 2026. Padahal pemerintah sebelumnya menargetkan implementasi B-50 pada tahun depan.

Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang terbuat dari minyak nabati atau hewani, digunakan untuk menggantikan solar pada mesin diesel. Saat ini Indonesia telah menerapkan campuran biodiesel 40% atau B40.

“Kalau saya melihat arahan Pak Menteri, (implementasi B-50) per 1 Januari (2026) sepertinya tidak (bisa),” kata Direktur Jenderal EBTKE, Eniya Listiani Dewi, saat ditemui di Jakarta, Selasa (23/9).

Eniya menjelaskan, B50 belum bisa diterapkan awal 2026 karena pemerintah masih menunggu pengujian atau tes di jalan yang memerlukan waktu antara enam sampai delapan bulan.

Pemerintah telah menyiapkan tiga opsi komposisi untuk implementasi B50 tahun depan. Opsi pertama adalah B35 yang dicampur 15% Hydrotreated Vegetable Oil (HVO). Opsi kedua memadukan B40 dengan 10% HVO, sementara opsi ketiga menggunakan B50 sepenuhnya dari Fatty Acid Methyl Ester (FAME).

Meski sudah ada tiga skema, pemerintah juga tengah melakukan kajian untuk memastikan keberlanjutan biodiesel, termasuk pemetaan B45. Opsi ini saat ini baru memiliki kajian ekonomi, belum kajian teknis.

Eniya menambahkan, meskipun sudah ada kajian terkait B45, realisasi penerapan biodiesel secara keseluruhan tetap meningkat sekitar 10% setiap tahunnya.

Tetap Fokus pada B50

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengatakan pihaknya tengah memetakan program mandatori penerapan biodiesel pada 2026.

“Pada 2025 kami sudah mengimplementasikan B40 dan sedang memetakan apakah pada 2026 itu akan dilakukan mandatory untuk B45 atau B50,” ujar Yuliot dalam acara Indonesia Green Energy Summit (IGES) 2025, Selasa (23/9).

Menurutnya, pemetaan mandatori biodiesel bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dari energi fosil, namun ketersediaan bahan baku FAME menjadi faktor penentu. Pada 2025, ketersediaan FAME tercatat sebesar 15,6 juta kiloliter (KL), sementara kebutuhan B45 mencapai 17 juta KL dan B50 membutuhkan 19 juta KL.

“Jadi kami melakukan asesmen ini untuk melihat potensi implementasi B45, namun kami tetap dorong agar B50 bisa diterapkan pada 2026,” katanya.

Jika B50 terealisasi tahun depan, Yuliot menekankan manfaat ekonominya cukup besar. Dari implementasi 2025, negara bisa menghemat devisa US$ 9,3 miliar atau sekitar Rp147,5 triliun.

“Selain itu, ada peningkatan nilai tambah dalam negeri sekitar Rp20,98 triliun serta menciptakan sekitar 2 juta lapangan kerja,” ujar Yuliot.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Mela Syaharani