Dianggap Negara Maju, Pemerintah Pastikan RI Dapat Keringanan Tarif AS

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Ilustrasi, warga berjalan dengan latar belakang gedung bertingkat di kawasan Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, Senin (27/1/2020).
Penulis: Rizky Alika
24/2/2020, 18.48 WIB

(Baca: AS Tak Lagi Anggap RI Negara Berkembang, Bappenas: Pasti Menguntungkan)

Dengan masuknya Indonesia pada kategori negara maju, ia memperkirakan Indonesia rentan terkena tuduhan subsidi dari AS. Sebab, batasan minimum atau de minimis toleransi pemberian subsidi perdagangan untuk Indonesia lebih rendah dari sebelumnya.

Namun, ekonom menilai Indonesia berpotensi kehilangan fasilitas keringanan bea masuk tersebut karena dianggap sebagai negara maju. "Sudah hampir pasti kehilangan GSP. Itu bisa terdampak karena GSP fasilitas untuk negara berkembang," kata Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal kepada Katadata.co.id.

Jika fasilitas bea masuk itu dicabut, maka produk-produk Indonesia yang diekspor ke AS dikenakan tarif progresif.  Karena itu, ia berharap pemerintah mampu bernegosiasi dengan pemerintah AS untuk mengkaji ulang status tersebut.

(Baca: Kadin: Jadi Negara Maju, Indonesia Tetap Dapat Fasilitas Bea Masuk AS)

Pemerintah juga perlu mendorong kerja sama perdagangan dengan negara-negara non-tradisional.  "Terlebih lagi AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump sangat proteksionis," ujar Fithra.

Adapun keputusan AS mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang berdasarkan pendapatan nasional bruto (GNI) suatu negara, sesuai data Bank Dunia. USTR juga mempertimbangkan porsi perdagangan suatu negara terhadap dunia sesuai data the Trade Data Monitor.

"Untuk tujuan hukum CVD AS, Perwakilan Dagang AS menganggap negara-negara dengan pangsa 0,5% atau lebih dari perdagangan dunia sebagai negara maju," kata USTR dalam pemberitahuan federalnya.

USTR juga mengeluarkan sejumlah anggota G20 dari daftar negara berkembang seperti Argentina, Brazil, India, dan Afrika Selatan. (Baca: Saran Bank Dunia agar Indonesia Jadi Negara Maju pada 2045)

Pada 2018, nilai ekspor Indonesia dari pos tarif yang mendapat fasilitas GSP naik 10% dari US$ 1,9 miliar menjadi US$ 2,2 miliar. Pada Januari-November 2019, nilainya meningkat 20% dari US$ 2 miliar menjadi US$ 2,5 miliar.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika