Menjadi salah satu primadona komoditas, pemandangan tanaman kelapa sawit mendominasi sepanjang jalan antar-Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau dan sekitarnya. Namun, di balik hamparan hijau pohon kelapa sawit di kedua kabupaten terluas di Kalimantan Barat itu, terdapat sejumlah masalah, terutama yang menimpa para petani sawit. Mulai dari legalitas, perizinan, harga jual sawit, sulitnya mengakses dana replanting, hingga minimnya pendampingan tentang tata cara berkebun sawit yang tepat.
Salah satu permasalahan tersebut dihadapi oleh Valens Andi, petani sawit asal Kabupaten Sanggau. Saat ditemui oleh Katadata pada pertengahan September lalu, ia mengatakan minimnya tata kelola sawit sehingga dibutuhkan pembenahan. Menurut Valens, segala tumpang tindih Hak Guna Usaha (HGU), legalitas, pendampingan dan juga harga jual perlu diatur agar tidak menimbulkan gejolak.
“Maka sebab itu, dibutuhkan peta yang disepakati bersama sebagai solusi tarik menarik kepentingan ini,” kata Valens.
Tak hanya itu, petani juga membutuhkan Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Budidaya (STDB). Surat yang diperuntukkan bagi pemilik lahan sawit kurang dari 25 hektare ini bertujuan untuk mendaftar petani yang nantinya akan diberikan pembinaan oleh Kementerian Pertanian.
Valens menjelaskan, minat petani untuk mendapat STDB cukup besar “Petani mandiri kan juga ada usaha, secara aturan harus ada STDB. Nah petani ini juga mau, mereka juga ingin usahanya punya legalitas dan diakui.” tutur Valens. Meski demikian, animo petani untuk mendapat STDB masih belum dibarengi pemberian kemudahan dan pendampingan oleh pemerintah.
Valens menekankan, STDB adalah instrumen penting untuk menjamin legalitas. STDB tersebut nantinya menjadi basis pemerintah untuk menghubungkan petani dengan pabrik kelapa sawit untuk pemasaran Tandan Buah Segar (TBS). STDB pula yang akan memperkuat posisi petani untuk mendapat harga layak sesuai dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Kalimantan Barat Nomor 63/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Indeks dan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun Kalimantan Barat.
“STDB adalah salah satu yang bisa pemerintah berikan kepada petani agar petani bisa mendapat nilai tambah dan harga yang layak sesuai dengan Pergub 86 Tahun 2018. Itu harapan kami sebagai petani.” ujar Valens.
Masalah lainnya adalah minimnya pendampingan petani dalam praktik budidaya kelapa sawit berkelanjutan. Pendampingan ini juga berguna untuk mendukung petani menerapkan standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang layak lingkungan dan bebas dari eksploitasi sosial.
Sebagai jalan keluar, Valens mengatakan perlu penguatan kelompok tani. Dengan disatukannya petani dalam kelembagaan pertanian, maka petani diwadahi untuk mendapat pendampingan.
Santik, petani sawit di Desa Jerora, Kabupaten Sintang, senasib dengan Valens. Dia juga tak mendapatkan pendampingan pengelolaan perkebunan sawit. Padahal, dia dan sesama petani plasma lainnya dijanjikan akan memperoleh pendampingan oleh PT Multi Prima Entakai (PT MPE) usai mendapat pembagian lahan. “Kami di sini menerapkan budidaya sawit berdasarkan pengalaman seadanya. Kami tidak pernah mendapat pengarahan seperti apa pupuk yang bagus dan cara pemupukannya,” ucap Santik.
Minimnya pendampingan petani dari pemerintah maupun perusahaan memunculkan inisiatif dari lembaga nonprofit. Di Kabupaten Sintang, hal itu dilakukan oleh Yayasan Solidaridad. Mereka membentuk sekolah lapangan yang mengajarkan praktik budidaya kelapa sawit berkelanjutan kepada para petani. Usai mendapat pelatihan, produksi kebun sawit pun meningkat.
“Dulu produksi di kebun saya hanya satu ton per kavling. Tapi setelah mendapat pelatihan, kami bisa menaikkan produksi hingga 2,5 ton per kavling per panen. Hasil ini sangat kami banggakan,” kata petani sawit lainnya, Linang.
Kepastian Harga dan Replanting
Masalah harga sawit yang menurun sementara biaya operasional tinggi juga menjadi makanan sehari-hari para petani. Mereka mengeluh hasil berkebun sawit tidak lagi menguntungkan seperti dulu. “Pengeluaran kita besar, tapi penghasilannya sedikit. Posisi kami jadi sulit karena tetap mengeluarkan biaya untuk tenaga kerja dan pupuk. Harga yang rendah membuat usaha kami susah berkembang,” ujar Santik.
Persoalan harga menjadi momok bagi para petani rakyat. Selama ini mereka yang menjual sawit ke perusahaan dianggap ‘pihak ketiga’. Kondisi tersebut membuat posisi petani swadaya lebih lemah karena harga dan persyaratan kelayakan TBS ditentukan oleh perusahaan, bukan mengacu pada peraturan pemerintah.
Penetapan standar harga oleh perusahaan ini membuka celah bagi para tengkulak. Hasil sawit yang dianggap tidak memenuhi standar jual ke perusahaan akhirnya dijual petani ke tengkulak melalui ramp atau tempat penimbangan dengan harga yang lebih murah dari harga perusahaan maupun harga pemerintah.
Penelusuran Katadata mendapati fenomena ramp banyak ditemui di sepanjang jalan Kabupaten Sanggau dan Sintang. Valens menjelaskan, banyaknya ramp ini mengindikasikan tata niaga TBS di tingkat petani butuh diperbaiki agar petani mendapat harga yang lebih adil.
Terakhir, persoalan replanting. Kalimantan Barat masuk dalam target replanting pemerintah karena memiliki perkebunan sawit yang luas. Dilansir dari Antara, pada 2018 Kalimantan Barat mendapat alokasi peremajaan sawit seluas 19.221 hektare dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS).
Meski demikian, petani swadaya mempertanyakan kejelasan dana replanting tersebut. Selain itu, persyaratan administrasi juga mempersulit petani untuk mengajukan replanting. Proses peremajaan sawit ini masih terkendala kelengkapan dokumen pendukung seperti rencana anggaran, surat keterangan, hingga status lahan.
Realisasi peremajaan sawit rakyat (PSR) di tingkat nasional memang masih di bawah target. Program PSR sudah mulai dikerjakan pada 2017 dengan target 20.780 hektare di tujuh provinsi. Realisasi yang tercapai seluas 14.796 hektare atau sebesar 71,2 persen. Pada 2018, target ditambah menjadi 185.000 hektare di 16 provinsi. Namun realisasinya hanya 33.842 hektare atau 18,3 persen.
Pada 2019, target peremajaan kebun sawit yang ingin dicapai seluas 200.000 hektare di 21 provinsi. Namun per 25 Juni 2019, realisasinya baru mencapai 20.379 hektare atau sebesar 10,2 persen. Masalah teknis birokrasi adalah salah satu penghambat utama. Oleh sebab itu, Direktorat Jenderal Perkebunan berupaya memenuhi target penyaluran replanting melalui penyederhanaan persyaratan.