Diskriminasi Sawit, Indonesia Gugat Uni Eropa ke WTO Tahun Ini

Arief Kamaludin | Katadata
13/11/2019, 11.17 WIB

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan Indonesia akan menggugat Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun ini. Gugatan tersebut terkait diskriminasi sawit seiring pengklasifikasian kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap lingkungan.

“Kami akan jadwalkan (pengajuan gugatan) paling tidak tahun ini ada satu round lah supaya ada progres,” kata dia di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (12/11).

Agus menyatakan pihaknya juga bakal melakukan pembicaraan dengan Uni Eropa terkait produk sawit dan turunannya, serta pembatasan kandungan minyak kelapa sawit dalam makanan.

(Baca: Menteri Perdagangan Minta Inggris Setop Kampanye Negatif Kelapa Sawit)

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan memperkirakan proses gugatan hingga keputusan di WTO bisa memakan waktu 1,5 tahun, bahkan lebih lama.

Ia menjelaskan, sebelum mendaftarkan gugatan ke WTO, pemerintah pastinya membutuhkan waktu untuk mempersiapkan gugatan. Setelah gugatan diajukan, ada sederet tahapan yang harus dilalui.

Indonesia akan diberi waktu untuk memilih rujuk atau melanjutkan gugatan. Panel akan dibentuk bila tidak ada kesepakatan bersama dengan Uni Eropa. Setelah itu, masih ada tahapan-tahapan lainnya.

(Baca: Mendag Kebut Penyelesaian 11 Perjanjian Dagang hingga Akhir 2020)

Berdasarkan aturan The Delegated Act, minyak kelapa sawit termasuk sebagai sumber energi yang tidak berkelanjutan dan termasuk dalam kategori indirect land use change (ILUC) yang berisiko tinggi. Sesuai ketentuan Renewable Energi Directive II (RED II), konsumsi bahan bakar nabati berisiko tinggi akan dibatasi.

Pemerintah Indonesia sudah mengajukan protes kepada Uni Eropa. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sebelumnya Darmin Nasution menyebut langkah Uni Eropa tersebut sebagai kompromi politis di internal-nya. Tujuannya, mengisolasi dan mengecualikan minyak kelapa sawit dari sektor biofuel Uni Eropa untuk menguntungkan minyak nabati lainnya, termasuk rapeseed yang diproduksi oleh Uni Eropa.

Pemerintah pun sempat membicarakan kemungkinan-kemungkinan kebijakan balasan atas langkah Uni Eropa tersebut. Langkah balasan yang sempat mengemuka yakni tarif bea masuk 20-25% terhadap produk olahan susu dari Eropa.