Pemerintah memperkirakan pertumbuhan industri makanan dan minuman pada tahun ini bakal meleset dari target sebesar 9% menjadi di kisaran 8%. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) mengatakan, hal ini terjadi karena turunnya pendapatan masyarakat kelas menengah sehingga melemahkan daya beli.
Ketua Gapmmi Adhi S Lukman mengatakan, sebagian masyarakat Indonesia masih menggantungkan pekerjaan dan pendapatannya pada sektor komoditas mentah. Dengan harga komoditas yang melemah saat ini, maka ikut berdampak pada turunnya pendapatan masyarakat.
"Pendapatan mereka turun sehingga mau tidak mau mereka harus selektif dalam berbelanja. Ini yang menjadi masalah," kata dia di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (11/11).
(Baca: Pertumbuhan Industri Manufaktur Kian Melambat pada Kuartal III 2019)
Di sisi lain, masyarakat menengah atas, menurutnya cenderung menghabiskan dananya di luar negeri seiring banyaknya promosi wisata murah. Akibatnya, konsumsi makanan dan minuman dalam negeri tidak meningkat.
Tekanan lain yang menghambat laju pertumbuhan industri makanan minuman juga berasal dari daya saing industri yang masih rendah dengan biaya produksi tinggi.
Selain itu, biaya logistik di Indonesia dinilai mahal. Ditambah lagi dengan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) di Indonesia terjadi setiap tahun. Bila berkaca dari negara lain, kenaikan UMP pekerja tidak berjumlah besar serta tidak terjadi setiap tahun.
Karena itu, dia menyarankan kenaikan upah di Indonesia semestinya tidak hanya dihitung berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi saja, melainkan berdasar tingkat produktivitas. Dengan demikian, produktivitas dapat meningkat serta biaya produksi dapat lebih efisien.
Selain itu, dia pun mengusulkan pemerintah agar dapat mengalokasikan sisa anggaran untuk mendorong konsumsi dan pendapatan masyarakat. Misalnya, dengan menggelontorkan dana desa dan bantuan sosial untuk menggerakkan konsumsi masyarakat.
Tahun depan, Adhi memperkirakan pertumbuhan industri makanan dan minuman mulai meningkat. Namun, pertumbuhannya kemungkinan belum bisa mencapai double digit.
"Paling tidak 8-9% masih bisa tercapai. Tentu terus berupaya dengan melakukan inovasi, pameran, dan peningkatan ekspor," ujar dia.
(Baca: Pengusaha Makanan Minuman Khawatir Cukai Plastik Memukul Daya Beli)
Senada dengan Gapmmi, Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim juga memperkirakan pertumbuhan industri makanan dan minuman tahun ini dapat di atas 8%.
"Tapi agak berat kalau di angka 9%, Perkiraanya 8,1-8,2%," ujar Abdul.
Namun, pertumbuhan industri makanan dan minuman sampai akhir tahun, akan dipengaruhi oleh kondisi semester I. Sebab, sebagian besar investor menunggu (wait and see) keinginan untuk berinvestasi hingga pemilu selesai.
Abdul melihat pertumbuhan industri makanan minuman mulai menunjukkan perbaikan. Peningkatan tersebut diperkirakan berasal dari investasi asing langsung yang meningkat. Di sisi lain, hari raya Natal dan tahun baru diperkirakan dapat mendorong pertumbuhan industri makanan dan minuman.
Meski begitu, perbaikan tersebut tidak cukup untuk menutupi pertumbuhan di triwulan sebelumnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuan industri makanan dan minuman pada triwulan I 2019 mencapai 6,77%, triwulan II 7,99%, dan triwulan III 8,33%. Secara tahun kalender (year to date), pertumbuhan industri makanan dan minuman sebesar 7,72%.