Ekonom Universitas Indonesia (UI) Chatib Basri mengatakan Indonesia perlu meningkatkan kerja sama perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA) di tingkat regional atau ASEAN guna menghadapi dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang berlarut-larut. Salah satunya, dapat dilakukan dengan membangun infrastruktur antar negara.
"Yang paling mungkin mendorong FTA, kerja sama regional," kata dia di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Selasa (20/5).
Menurutnya, opsi tersebut dianggap paling potensial dibandingkan melalui kerja sama multilateral atau unilateral. Sebab, kerja sama multilateral membutuhkan proses panjang, sementara masa depan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) masih belum jelas.
(Baca: Negara ASEAN yang Menang dan Kalah di Tengah Perang Dagang AS-Tiongkok)
Di sisi lain, kerja sama unilateral tidak memungkinkan lantaran sulit bagi Indonesia untuk tetap membuka perdagangan di tengah maraknya proteksionisme. "Opsi tersebut sulit secara politik," ujarnya.
Oleh karena itu, kerja sama regional diperlukan dengan menegosiasikan tarif perdagangan dan membuka investasi. Menteri Keuangan di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini pun menyarankan agar peningkatan kerja sama regional dilakukan dengan mulai membangun infrastruktur antar negara kawasan.
Bila infrastruktur antar negara ASEAN dibangun, ia yakin manfaat konektivitas dapat dirasakan di wilayah Asean. Selain itu, manfaat kerja sama regional tersebut juga dapat dilihat oleh berbagai negara lainnya.
"Dengan demikian akan ada manfaat support investment regime dan trade regime," ujarnya.
(Baca: Sri Mulyani Sebut Ancaman Ekonomi di 2020 Sulit Diprediksi )
Salah satu kerja sama infrastruktur yang sudah ada di antara ASEAN adalah Infrastructure Asean Connectivity. Namun, kerja sama tersebut belum dilanjutkan hingga saat ini.
Kerja sama tersebut dinilai Chatib penting agar ASEAN mendapatkan dukungan dari berbagai negara. Namun, hal ini juga perlu diiringi oleh dukungan dari politisi di Indonesia.
Setelah melakukan kerja sama tersebut, pemerintah dapat melakukan reformasi yang lebih kompleks. Reformasi yang dimaksud dapat berupa negosiasi hambatan nontarif dan investasi lainnya.