Faisal Basri: RI Bisa Bangkrut kalau Bangun Infrastruktur Tanpa Swasta

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Kereta Light Rail Transit (LRT) saat uji publik di Stasiun Boulevard Utara, Kelapa Gading, Jakarta (12/6).
23/7/2019, 20.39 WIB

Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengatakan Indonesia sangat membutuhkan investasi dari badan usaha swasta dalam negeri maupun luar negeri untuk membangun infrastruktur. Bila tidak, Indonesia bisa bangkrut. Sebab, utang pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah menembus Rp 5.000 triliun.

Ia memaparkan, per Maret 2019, utang pemerintah mencapai Rp 4.600 triliun. Sedangkan utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencapai Rp 945 triliun. Adapun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya mampu memenuhi belanja barang, belanja modal, dan pembayaran bunga utang.

"Maka untuk pembangunan infrastruktur mau tidak mau harus menggunakan metode lebih banyak partisipasi dari badan usaha," ujarnya saat ditemui di Jakarta, Selasa (23/7).

(Baca: Infrastruktur yang Mendekatkan 10 Bali Baru)

Ia pun menilai positif upaya pemerintah menggenjot investasi swasta dengan mempercepat perijinan usaha dan memangkas regulasi yang dinilai menghambat investasi. Menurut dia, usaha ini sudah membuahkan hasil. Pertumbuhan investasi Indonesia tertinggi ke-16 di dunia.

Namun, Fasial menyatakan masih ada yang harus diperbaiki agar investasi bisa tumbuh maksimal, yaitu komitmen terhadap kontrak. Menurut dia, kontrak patut untuk dihargai dan dilaksanakan. Ini untuk memberikan kepastian terhadap dunia usaha.

"Contohnya Masela dari offshore ke onshore, hanya ucapan presiden ini yang menyebabkan ongkosnya naik. Akibatnya sumur yang ditemukan 20 tahun baru bisa berproduksi 2027," kata dia.

(Baca: Hitungan Manfaat Ekonomi di Balik Kesepakatan Blok Masela Rp 277 T)

Selain itu, ia menilai perlunya evaluasi atas investasi yang ada. Sebab, investasi yang ada belum memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih stagnan di kisaran 5%.

Padahal, pertumbuhan investasi Indonesia naik ke peringkat 16 dunia. Indonesia juga jadi negara penerima investasi terbesar ke-26 dari Tiongkok, melonjak dari posisi sebelumnya yaitu ke-44.

"Saya takut diagnosis Presiden Joko Widodo yang menilai investasi kecil itu salah. Investasinya tidak kecil tapi hasilnya kecil, berarti tidak efesien," ujarnya.