PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) telah melakukan penandatangan perjanjian restrukturisasi utang alias master restructuring agreement (MRA) dengan kreditur bank plat merah. Bank milik negara yang telah setuju dengan skema restrukturisasi utang Krakatau Steel yaitu Bank Mandiri, BNI, dan BRI.
"Untuk bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) sudah tanda tangan MRA. Sekarang sedang finalisasi dengan bank swasta nasional maupun bank swasta asing," kata Direktur Utama Krakatau Steel, Silmy Karim di kantornya, Jakarta, Senin (17/6).
Namun, Silmy belum bisa menjabarkan skema dalam perjanjian restrukturisasi tersebut karena masih terkait dengan negosiasi yang tengah mereka lakukan dengan pihak bank-bank swasta. "Ada hal-hal yang kami tidak bisa bicarakan kalau masih dalam proses negosiasi," kata Silmy.
Menurut Silmy, masih berlangsungnya negosiasi dengan bank-bank swasta bukan karena ada kendala, namun hanya bagian dari proses saja karena ada beberapa bank yang perlu bertemu satu per satu. Dia mengaku pernah melakukan pertemuan dengan kreditur-kreditur tersebut dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) beberapa waktu yang lalu.
(Baca: Negosiasi Masalah Utang Rp 35 T Krakatau dengan 17 Bank Hampir Rampung)
Keterlibatan pihak kementerian dalam proses negosiasi tersebut karena menyangkut kepentingan nasional, dalam hal ini industri baja. Sehingga going concern industri ini memiliki masa depan yang baik. "Ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan antara peran pemerintah, perbankan, dan industri," ujar Silmy.
Dia menargetkan, proses perjanjian terkait restrukturisasi utang-utang Krakatau Steel dapat dicapai pada Juni ini yang menyisakan sekitar 2 minggu lagi. Untuk itu, Silmy belum bisa memberikan prognosa terkait kinerja keuangan Krakatau Steel tahun ini. Namun, setelah perjanjian terkait restrukturisasi utang, Silmy mengatakan baru bisa melakukan proyeksi.
"(Proyeksi pendapatan dan laba bersih 2019) ini kan tergantung dari beberapa hal, seperti restrukturisasi utang. Sehingga sampai Juni, saya masih perlu memfinalkan restrukturisasi utang dengan perbankan," kata Silmy.
Krakatau Steel tercatat memiliki utang sebesar US$ 2,49 miliar atau sekitar Rp 35,1 triliun (dengan kurs Rp 14.000 per US$) pada 2018. Dari jumlah tersebut, utang ke Bank Mandiri sekitar Rp 4 triliun yang terdiri dari kredit jangka pendek senilai Rp 380 miliar dan US$ 225,6 juta.
(Baca: Sebelum Masuk Holding BUMN Tambang, Krakatau Harus Selesaikan Utangnya)
Dua Strategi Restrukturisasi Utang Krakatau Steel
Dari total utang tersebut, Karakatau Steel akan menjalankan dua strategi dalam rangka restrukturisasi sebagian utang dengan total nilai US$ 2,2 miliar atau setara Rp 31 triliun. Strategi tersebut telah disetujui dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahunan yang digelar pada akhir April lalu.
Silmy kala itu menjelaskan strategi pertama yaitu divestasi saham pada anak usaha. Caranya, bisa melalui penjualan saham secara langsung, penerbitan Dana Infrastruktur (Dinfra), atau melalui Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT).
"Ini pun ada klausul buy back," kata dia di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Jumat (26/4). Rencananya, divestasi baru akan dilakukan tiga tahun ke depan lantaran perusahaan ingin mengoptimalkan kinerja anak usaha guna meningkatkan valuasinya.
Sejauh ini, belum ada kepastian dari Krakatau Steel mengenai anak usaha yang akan dipilih. Namun targetnya, nilai divestasi bisa mencapai sekitar US$ 1 miliar. "Sekarang lagi dikaji, jadi tidak bisa kami sebut (nama perusahaannya). Nanti kasihan juga, mereka kan punya investor dan partner," kata Silmy.
(Baca: Gabung Holding BUMN, Krakatau Steel Optimistis Kinerja Akan Naik)
Strategi kedua, yaitu penerbitan obligasi konversi (convertible bond) dengan nilai sekitar US$ 1 miliar. Obligasi akan diterbitkan dengan hak opsi berupa konversi ke saham Krakatau Steel melalui skema Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD). Pihaknya juga membuka peluang penerbitan instrumen pembiayaan lainnya untuk pelunasan obligasi tersebut, jika memang diperlukan.
Obligasi tersebut bakal dirilis dalam waktu dekat. Namun, Silmy belum bisa menyebut waktu pastinya. Sebab, pihaknya masih dalam tahap negosiasi dengan kreditur potensial, termasuk soal tingkat bunganya. Obligasi konversi ini akan memiliki tenor selama 5 tahun dengan opsi perpanjangan 10 tahun.