Diduga Terlibat Konspirasi dengan Iran, Huawei Masuk Daftar Hitam AS

ANTARA FOTO/REUTERS/WOLFGANG RATTAY
Ilustrasi, Logo perusahaan China, Huawei Technologies
20/5/2019, 11.48 WIB

Perusahaan teknologi asal Tiongkok, Huawei masuk daftar hitam (blacklist) oleh pemerintah Amerika Serikat (AS), karena diduga menjalin konspirasi dengan Iran. Namun, CEO dan pendiri Huawei Ren Zhengfei mengatakan, pembatasan yang dilakukan AS tidak akan berdampak besar bagi pertumbuhan bisnis perusahaannya.

Mengutip Bloomberg, Minggu (19/5) Ren menyebut pertumbuhan Huawei jelas akan melambat, namun ia yakin perlambatannya hanya sedikit. Adapun, surat kabar Jepang Nikkei menyebut bahwa pertumbuhan pendapataan perusahaan akan turun sebesar 20 % akibat dari pembatasan pemerintah AS tersebut.

Pada Kamis (15/5), Trump menandatangani perintah untuk membatasi Huawei dan ZTE Corp menjual produk mereka di AS. Perintah tersebut pun ditanggapi Departemen Perdagangan dengan menempatkan Huawei pada blacklist hingga membatasi raksasa teknologi asal Tiongkok tersebut dari kegiatan bisnis dengan perusahaan AS.

Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross menyebut, Huawei dan afiliasinya menimbulkan resiko keamanan nasional bagi AS. Ia pun meluruskan, pembatasan tersebut tidak berkaitan dengan masalah negosiasi perdagangan AS-Tiongkok yang hingga saat ini juga masih berlangsung.

Menurut TechCrunch, Kamis (16/5) beberapa sekutu AS, termasuk Inggris, masih menyelidiki kemungkinan ancaman keamanan dari Huawei. Namun, perusahaan yang berbasis di Shenzhen tersebut telah mengambil langkah untuk memberikan jaminan kepada para klien potensialnya.

Huawei mengatakan bahwa perusahaannya bersedia menandatangani perjanjian tanpa mata-mata dengan pemerintah setempat, termasuk pemerintah Inggris, serta berkomitmen untuk membuat peralatannya memenuhi standar, tanpa mata-mata maupun kecurangan terselubung.

Sementara itu, pemerintah AS mendorong untuk untuk menangkap CFO Huawei Meng Wanzhou dengan tuduhan bahwa perusahaan tersebut melakukan konspirasi bisnis di Iran hingga melanggar sanksi AS.

Januari lalu, jaksa penuntut AS membuka surat dakwaan yang menuduh Huawei melakukan penipuan bank untuk mendapatkan barang dan jasa AS yang diembargo di Iran dan memindahkan uang ke luar negeri melalui sistem perbankan internasional.

(Baca: Buntut Perang Dagang, Google Setop Akses Huawei ke Sistem Android )

Atas pembatasan tersebut, Ren menegaskan bahwa dirinya dan perusahaan tidak akan mengubah manajemen korporasi atas permintaan AS dan menolak permintaan pemantauan bisnis perusahaan, seperti yang telah dilakukan oleh ZTE. Alasannya, Huawei belum melakukan apa pun yang melanggar hukum.

Tahun lalu, AS mencabut moratorium pembelian teknologi milik Amerika oleh ZTE setelah perusahaan tersebut menyetujui perubahan manajemen dan anggota dewan direksi, menerima pemantauan kegiatan bisnis, dan membayar denda lebih dari US$ 1 miliar.

Menurut Ren, perusahaannya akan baik-baik saja meskipun tidak dapat membeli chip dari pemasok AS. Sebab menurutnya, perusahaannya telah mempersiapkan hal tersebut.

Ia juga mengatakan akan mengesampingkan kemungkinan memproduksi peralatan 5G di AS. Ren menegaskan, meskipun jika AS meminta Huawei memproduksi peralatan 5G di AS, Huawei tidak akan melakukannya.

Sebelumnya, Huawei juga menyebut bahwa pembatasan bisnis di AS tidak akan membuat negara tersebut lebih aman atau lebih kuat.

Tindakan tersebut menurut pernyataan resmi Huawei, hanya akan membuat AS harus mencari alternatif yang harganya lebih mahal, membuatnya tertinggal dalam penyebaran jaringan 5G dan akhirnya merugikan kepentingan perusahaan dan konsumen AS.

(Baca: Setelah Kalahkan Apple, Huawei Berpeluang Menyalip Samsung)

Reporter: Cindy Mutia Annur