Pemerintah Kaji Harga Referensi CPO untuk Pungutan Ekspor

ANTARA FOTO/Akbar Tado
Pekerja memperlihatkan biji buah sawit di salah satu perkebunan sawit di Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi barat, Sabtu (25/3). Menurut pedagang pengepul di daerah tersebut, harga sawit mengalami penurunan dari harga Rp1.400 menjadi Rp1.000 per kilogram akibat kualitas buah tidak terlalu bagus.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
25/2/2019, 18.54 WIB

Pemerintah masih mengkaji penetapan harga referensi minyak kelapa sawit dan turunannya terkait pengenaan pungutan ekspor. Kondisi harga sawit yang masih berfluktuasi menjadi faktor pertimbangan pemerintah sebelum menetapkan kebijakan.

Aturan pungutan ekspor lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 Tahun 2018.

"Indonesia sebagai produsen sawit terbesar, jangan tambahkan beban bagi pelaku usaha dan petani, sekarang harga masih belum dalam kondisi normal," kata Deputi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud di Jakarta, Senin (25/2).

(Baca: Pungutan Ekspor Sawit Tahun 2018 Mencapai Rp 14 Triliun)

Menurutnya, pemerintah menginginkan pelaku usaha mengekspor ekspor sawit. Namun, pungutan ekspor dikhawatirkan akan berdampak pada harga tandan buah segar (TBS) yang petani terima. Sehingga, pemerintah berhati-hati dalam menentukan kebijakan harga yang berpengaruh terhadap pendapatan petani sawit maupun kinerja ekspor.

Apalagi, tekanan sektor kelapa sawit Indonesia masih cukup besar akibat kampanye negatif . Sehingga, pemerintah melakukan Rapat Koordinasi Terbatas di level Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk menindaklanjuti kebijakan pungutan ekspor. "Sebagai negara, kita harus tetap bela kepentingan nasional," ujar Musdhalifah.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita  sebagai pihak yang mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan tentang harga referensi sawit sebagai acuan pungutan ekspor juga mengatakan tengah mempertimbangkan fluktuasi harga global. Apalagi, harga sawit sepanjang 2018 terus berada pada level yang rendah.

Dalam Permendag 3/2019, harga referensi CPO bulan Feburari 2019 sebesar US$ 565,4 per ton, lebih tinggi 12,34% daripada harga referensi pada Januari 2019 yang hanya US$ 503,30 per ton. Sementara harga CPO versi Indonesia Comodity and Derivatives Exchange (ICDX) per 15 Februari 2019 sebesar US$ 527 per ton.

Sementara itu, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 152/2018, ekspor bebas dari pungutan jika harga CPO dan turunannya berada di bawah US$ 570 per ton. Pengenaan tarif berlaku sebesar US$ 10 sampai US$ 25 per ton jika harga berada pada kisaran US$ 570 hingga US$ 619 per ton.

(Baca: Petani Sawit Terpukul Kejatuhan Harga CPO)

Pungutan ekspor bakal kembali normal sebesar US$ 50 per ton jika harga CPO dan turunannya telah melewati batas harga US$ 619 per ton. PMK 152/2018 merupakan revisi dari PMK 81/2018 yang berlaku mulai 4 Desember 2018.

Enggar menjelaskan, pemerintah bakal kembali melakukan Rakortas untuk menentukan kebijakan pungutan ekspor. Pembahasan kebijakan ini akan dilakukan tiga hingga tujuh hari ke depan.

Sementara itu, Ketua Dewan Pengawas BPDP Kelapa Sawit Rusman Heriawan mengungkapkan pihaknya tengah melakukan kajian dengan berhati-hati agar tidak berdampak negatif terhadap harga TBS petani yang masih rendah. "Jangan sampai harga CPO bagus, tetapi harga yang diterima petani itu jelek," kata Rusman.

Dalam kajiannya, BPDP Kelapa Sawit mengungkapkan harga TBS petani masih tertekan atau berada pada level Rp 1.400 per kilogram. Rusman mengaku pendataan harga TBS bakal menggunakan kajian dengan umur normatif sesuai dengan produksi tiap provinsi.

Menanggapi perkembangan kebijakan pungutan ekspor, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) juga mengaku masih menunggu kajian pemerintah. "Kami akan ikut kebijakan pemerintah," ujar Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono melalui pesan singkat.

Pengusaha pun tidak memberikan usulan apa-apa terhadap kajian yang tepat untuk menanggapi kondisi pendapatan petani yang bergantung terhadap harga pasar global.

Reporter: Michael Reily