Mendag Khawatir Lonjakan Hambatan Non-Tarif Dunia 3 Kali Lipat

Katadata
Pelabuhan ekspor impor. Seiring kondisi perdagangan dunia, banyak negara mengenakan hambatan nontarif.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
25/2/2019, 10.17 WIB

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita khawatir terhadap meningkatnya hambatan perdagangan nontarif akibat kondisi perdagangan global. Laporan terhadap hambatan nontarif yang dinotifikasi ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terus meningkat dalam 20 tahun terakhir.

Dari laporan tersebut diketahui hambatan nontarif di Asia Tenggara meningkat tiga kali lipat. "Hambatan nontarif memang sah dan diatur oleh WTO, namun penggunaannya yang berlebihan dan diskriminatif akan menambah biaya, yang pada akhirnya merugikan industri dan konsumen,” kata Enggar dalam keterangan resmi dari India, Senin (25/2).

(Baca: Aura Damai Kian Terasa, AS Tunda Kenaikan Tarif Impor Tiongkok)

Padahal, penurunan tarif perdagangan di regional ASEAN pada 2000-2018 mencapai 50% dari besaran tarif semula. Tren serupa juga terjadi secara mendunia. Mengutip data WTO, tarif semua negara anggota menurun dari 15% pada 1995 menjadi 9% di tahun 2018.

Namun, Enggar menyoroti data WTO yang menyebutkan adanya laporan notifikasi 625 hambatan nontarif setiap tahun sepanjang 30 tahun terakhir. Peningkatan tersebut juga sangat signfikan, sepanjang 2005 sampai 2017, WTO menerima aduan sebanyak 1.400 hambatan nontarif.

(Baca: Virus Meredupnya Ekonomi Tiongkok yang Mengancam Ekspor Indonesia)

Karenanya, pemerintah memiliki tantangan besar dalam menyediakan solusi  atas aturan teknis perdagangan global, seperti aturan yang  tidak menghambat pasar, meningkatkan standar kualitas produk, perlindungan konsumen, serta ruang untuk inovasi dan kompetisi secara adil.

Sebelumnya,  Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan sepanjang 2018 mengalami defisit sebesar US$ 8,57 miliar. Rapor merah transaksi perdagangan  tersebut sekaligus menjadi rekor defisit terbesar sepanjang sejarah, sejak Indonesia merdeka.

Kepala BPS mengatakan torehan tersebut merupakan defisit neraca perdagangan terbesar sejak tahun 1945. "Kita perlu berupaya lagi tetapi banyak tantangan karena prediksi perdagangan yang cukup sulit," kata Suhariyanto.