Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) meminta pemerintah memberikan kemudahan dan kepastian pasokan bahan baku untuk mendukung industri kayu nasional. Menurut asosiasi, industri tanaman hutan saat ini tak dapat berkembang karena sulit mengakses pendanaan dari perbankan.
Ketua Apkindo Martias menyatakanindustri kerap menemui kesulitan memperoleh pendanaan karena syarat jaminan berupa hak atas tanah tak sesuai dengan bukti dokumen Hutan Tanaman Industri (HTI) berupa surat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). "Jika ingin berkembang, syarat dapat diganti dengan jaminan fidusia atas HTI," kata Martias di Jakarta, Senin (26/11).
Menurutnya, persyaratan itu berbeda dengan Hak Guna Usaha yang hanya mensyaratkan dokumen dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Perbankan mensyaratkan syarat jaminan berupa peminjaman dana dalam bukti HGU sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
(Baca: Pelonggaran DNI, Pengusaha Kayu Tak Gentar Bersaing dengan Asing)
Martias menjelaskan seharusnya ada jaminan dari nilai tanaman. Selain itu, komponen asuransi juga seharusnya mampu mencakup hak tersebut sehingga bank merasa aman untuk meminjamkan dana kepada industri yang ingin melakukan penanaman HTI.
HTI di Pulau Jawa menurutnya sudah cukup menyediakan bahan baku untuk industri. Berbeda dengan di luar Pulau Jawa, yang mana bahan baku umumnya berasal dari hutan alam produksi, hutan rakyat, dan perkebunan.
Pengembangan HTI berpotensi terus dilakukan seiring dengan karektistik iklim tropis Indonesia. "Curah hujan dan matahari sepanjang tahun sangat memungkinkan bagi HTI dalam kurun waktu tanam sampai 10 tahun sudah siap dipanen sebagai bahan baku industri kayu," ujarnya.
Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono menyebut jumlah penggunaan bahan baku secara nasional sebanyak 6,69 juta meter kubik dengan rincian kayu alam sebanyak 3,50 meter kubik, kayu tanaman sebanyak 2,95 juta meter kubik, dan kayu karet sebanyak 234.170 meter kubik.
(Baca: Hanya 7 Sektor Baru Dibuka untuk Asing, Puluhan Bidang Diperlonggar)
Namun, persentase untuk penggunaan bahan baku antara Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa juga umumnya berbeda. "Penggunaan bahan baku di Jawa sekitar 80% adalah kayu tanaman, sedangkan bahan baku di Luar Pulau Jawa sekitar 85% adalah kayu alam," kata Bambang.
Dia menyebutkan, pabrik pengolahan kayu pun masih berpotensi untuk terus dioptimalkan. Sebab, dari total industri kayu lapis di Pulau Jawa sebanyak 254 unit, perusahaan yang aktif melakukan produksi hanya 158 unit dengan total produksi sebanyak 3,12 juta meter kubik.
Tak hanya untuk pasar domestikm industri pengolahan kayu juga berpotensi dipasarkan di luar negeri. Bambang menuturkan rata-rata ekspor produk panel kayu sekitar US$ 2,35 miliar per tahun. Sedangkan data Research Nester memperkirakan, nilai pasar kayu lapis mampu mencapai US$ 75,2 miliar pada 2023. "Nilai ekspor dapat ditingkatkan jika bahan bakunya tetap tersedia," ujarnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengungkapkan bakal menyelesaikan permasalahan pendanaan perbankan dengan OJK. Sehingga, industri kayu olahan ke depan diharapakna mampu memperbaiki sistem ketersediaan bahan baku.