Industri makanan minuman diprediksi tumbuh 8%-9% pada 2019, relatif stagnan dengan target tahun ini. Pertumbuhan industri tersebut diharapkan sejalan peningkatan jumlah populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan terkait hajatan politik pemilihan presiden dan wakil presiden tahun depan, diperkirakan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan konsumsi makanan minuman.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia ( GAPMMI) Adhi S Lukman mengatakan prospek pertumbuhan industri makanan minuman pada tahun depan masih cukup positif.
Peningkatan rata-rata jumlah penduduk sekitar 4 juta per tahun, akan menjadi penyumbang utama pertumbuhan. Sementara agenda politik 2019 tak terlalu besar mengerek konsumsi makanan minuman.
(Baca: Rupiah Bergejolak, Industri Rumah Tangga Naikkan Harga Jual Makanan)
"Tahun politik tentu ada dampaknya buat peningkatan konsumsi, tapi tak signifikan," kata Adhi kepada Katadata.co.id.
Industri makanan minuman dibayangi sejumlah tantangan tahun depan. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih akan menjadi tantangan terbesar, karena akan mempengaruhi biaya produksi industri akibat biaya pembelian bahan baku yang meningkat.
Seperti diketahui, industri makanan minuman saat ini masih memiliki ketergantungan cukup besar terhadap bahan baku impor. Misalnya gandum sebagai bahan baku utama tepung terigu yang 90%-100% masih berasal dari impor, kemudian gula 80%, garam 70%, susu 80%, kedelai 70% dan jus buah 70%.
Karenanya, untuk merespons depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sejumlah industri makanan minuman pada awal tahun depan berencana menaikan harga sebesar 5%.
"Produsen makanan minuman besar, termasuk juga pada retail modern masih menahan kenaikan harga hingga tahun depan untuk menjaga daya beli masyarakat," kata Adhi sebelumnya.
(Baca: Margin Perusahaan Makanan Minuman Menyusut seiring Pelemahan Rupiah)
Beberapa produsen juga mulai menyiasati kenaikan biaya produksi dengan melakukan efisiensi seperti dengan menggunakan bahan baku alternatif, menyiasati dari segi ukuran maupun kemasan.
Adhi pun berharap pemerintah segera mengatasi masalah nilai tukar rupiah yang lambat laun diakuinya cukup memberatkan kinerja industri, seperti dengan membenahi kebijakan yang bisa berdampak terhadap penurunan ongkos logistik, mendorong ketersediaan bahan baku dalam negeri atau pembenahan hulu dan hilir untuk industri mamin jika ingin menjadikannya sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, untuk kebijakan jangka pendek pihakanya juga mengusulkan adanya pemberian insentif seperti melalui subsidi bunga ekspor serta melalukan percepatan perundingan kerja sama dagang agar pelaku industri bisa segera melakukan penetrasi produknya ke negara tujuan ekspor yang belum pernah dijangkau.
"Saat ini pengusaha masih sulit mengakses pasar misalnya ke Afrika yang memiliki hambatan tarif yang tinggi sebesar 30% lebih,"katanya.
Industri makanan minuman merupakan salah satu sektor industri andalan seiring dengan pertumbuhannya yang selalu berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Kementerian Perindustrian mencatat, pada kuartal III 2018 industri makanan minuman tumbuh sekitar 10,7%, melampaui pertumbuhan ekonomi di periode yang sama sebesar 5,17%.