Menko Darmin Paparkan Kronologi Heboh Impor Beras Bulog vs Mendag

ARIEF KAMALUDIN | KATADATA
Penulis: Rizky Alika
Editor: Ekarina
20/9/2018, 13.42 WIB

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan polemik impor beras tidak perlu diributkan. Ia mengatakan keputusan impor beras tahun ini sebanyak 2 juta ton dilakukan untuk memenuhi kebutuhan.

"Kalau tidak ada impor, repot. Itu (impor beras) sudah melalui pertimbangan matang," kata dia di kantornya, Jakarta, Rabu (20/9).

Darmin pun menjelaskan kronologis di balik  keputusan impor yang diambil oleh pemerintah dalam rapat koordinasi terbatas (rakortas) pertama kali digelar pada 15 Januari 2018. Saat itu, stok beras Bulog diketahui sebanyak 903 ribu ton dari stok sebelumnya 978 ribu ton pada akhir 2017.

Stok tersebut berkurang 75 ribu ton lantaran Bulog melakukan operasi pasar seiring harga beras mulai menunjukkan kenaikan, yaitu Rp 11.300 per kilogram (kg) untuk beras medium. Harga sudah melambung tinggi dibandingkan patokan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang hanya Rp 9.450 per kg.

(Baca : Kisruh Impor Beras, Menteri Enggar Beda Sikap dengan Bulog)

Dengan stok yang ada di gudang Bulog sebanyak 903 ribu ton dinilai tidak mencukupi kebutuhan. Penyebabnya, konsumsi masyarakat per bulan diperkirakan sebanyak 2,3-2,4 juta ton. Itu berarti, stok beras pada Januari tidak memenuhi konsumsi selama 10 hari.

"Itu masih 15 Januari, musim hujan. Panen raya itu biasanya masih Maret, bisa-bisa April," ujarnya. Oleh karena itu, pemerintah memtuskan membuka keran impor beras 500 ribu ton.

Namun, ketika keputusan impor 500 ribu ton dilakukan, Kementerian Pertanian (Kementan) mengeluarkan data proyeksi produksi beras sebanyak  13,7 juta ton dalam tiga bulan. Rinciannya, produksi beras Januari diproyeksikan 2,5 juta ton, Februari 4,7 juta ton, dan Maret 6,5 juta ton.

Dengan proyeksi sebanyak 13,7 juta ton, pemerintah meminta Bulog harus menyerap beras sebanyak 2,2 juta ton hingga akhir Juni melalui panen raya. Dengan harapan, per akhir tahun pengadaan Bulog dapat mendekati 3 juta ton.

Pada rapat berikutnya 19 Maret, posisi stok beras medium dan premiun pada Bulog hanya sebesar 590 ribu ton. Artinya, tidak ada penambahan pasokan beras sesuai angka yang diproyeksikan Kementan. Terlebih lagi, impor sebanyak 500 ribu ton yang direncanakan tiba pada Februari ternyata belum terealisasi.

Impor yang terlambat masuk dalam stok gudang Bulog itu menurut Darmin disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, negara produsen mengalami keterlambatan panen. Selain itu, persiapan pengapalan juga membutuhkan waktu lama. "Itu yang impor Bulog ya, itu ada standarnya. Persiapannya memakan waktu," ujarnya.

(Baca : Mendag Ungkap Alasan Pemberian Izin Impor 1 Juta Ton Beras)

Di sisi lain, India juga menginginkan ekspor beras ke Indonesia. Namun, saat itu waktunya sangat terbatas.

Atas pertimbangan itu, kemudian pemerintah kembali menerbitkan kebijakan impor beras tambahan sebanyak 500 ribu. Alasannya, pemerintah tidak mau kembali mengambil risiko di saat harga beras yang masih tinggi di pasar.

Kemudian, dalam rakortas yang kembali digelar pada 28 Maret, posisi stok beras saat itu menunjukkan sedikit kenaikan menjadi 649 ribu ton dan harga beras medium sudah turun menjadi Rp 11.036 per kg.

Namun, Darmin menilai posisi tersebut tidak mencukupi lantaran panen raya sudah mau selesai. "Siapa yang percaya bahwa ini akan baik-baik saja? Sehingga kami putuskan impor 1 juta ton," kata Darmin.

Dengan demikian, total impor mencapai 2 juta ton selama tahun ini. Namun di sisi lain, Bulog berkukuh tidak perlu mengimpor sebab jumlah pasokan beras mencapai 2,2 juta ton termasuk beras impor dianggap cukup.

Sementara itu, Darmin justru jumlah persediaan beras yang ada gudag Bulo , sebanyak 1,4 juta ton di antaranya adalah beras impor. Artinya, stok beras hanya mencapai 800 ribu ton bila tidak ada impor.

"Sehingga menurut saya ini tidak perlu gaduh. Gudang itu penuh karena impornya 1,4 juta ton," ujar dia.n 

Ribut-ribut soal beras impor terjadi dalam beberapa hari terakhir. Kemeterian Perdagangan dan Bulog saling lempar pernyataan mengenai perlu tidaknya keputusan impor beras. 

Di satu sisi, Kemendag menyebut impor beras dilakukan untuk menjaga stabilitas harga di pasaran. “Kalau stoknya cukup dan harga tidak naik, pemerintah tidak akan menetapkan impor,” kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/9) lalu.

(Baca : Stok Melimpah, Bulog: Tak Perlu Impor Beras hingga Juni 2019)

Di sisi lain, Bulog selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertugas menjalankan penugasan impor atau melakukan operasi pasar dalam rangka menjaga stabilitas harga barang dalam negeri dalam beberapa kesempatan menyiratkan keengganan mengimpor beras dengan dalih kecukupan pasokan dan melindungi hasil produksi petani. 

Kepala Bulog  Budi Waseso juga menuturkan, pihaknya sudah tidak memiliki kapasitas gudang untuk menyimpan tambahan beras impor. Mantan pucuk pimpinan Badan Narkotika Nasional (BNN) itu menyebut saat ini kapasitas gudang Bulog telah penuh, bahkan pihaknya juga tengah mengkaji opsi untuk menyewa gudang milik TNI Angkatan Udara (AU) untuk menampung pasokan beras. 

Di luar  pro-kontra impor beras, Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengungkap masalah lain yang menurutnya penting  dalam persoalan impor beras adalah mengenai pengawasan  yang  harus diperketat. Sebab,  jumlah perizinan impor yang mencapai 2 juta ton berpotensi menjadi lahan proyek pemburu rente.

Terlebih secara nilai, total impor beras sebanyak 2 juta ton memiliki angka cukup besar yakni sekitar Rp 5,8 triliun. Perhitungan itu mengacu data Food and Agriculture Organization (FAO) yang menyebutkan harga rata-rata beras internasional mencapai US$ 430 per ton dengan kurs mata uang rupiah Rp 13.500 pada awal tahun.

Perhitungan itu juga membuat harga beli beras impor hanya sekitar Rp 5.800 per kilogram. Padahal, HET beras paling rendah sebesar Rp 9.450 per kilogram. “Pengawasan impor harus lebih ketat karena menyangkut kebutuhan masyarakat,” ujar Faisal.

Di luar masalah pro-kontra impor beras, Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengungkap hal lain yang menurutnya penting  dalam masalah impor beras adalah mengenai pengawasan  impor beras yang  harus diperketat. Sebab,  jumlah perizinan impor yang mencapai 2 juta ton berpotensi menjadi lahan proyek pemburu rente.

Terlebih secara nilai, total impor beras sebanyak 2 juta ton memiliki angka cukup besar yakni sekitar Rp 5,8 triliun. Perhitungan itu mengacu data Food and Agriculture Organization (FAO) yang menyebutkan harga rata-rata beras internasional mencapai US$ 430 per ton dengan kurs mata uang rupiah Rp 13.500 pada awal tahun.

Perhitungan itu juga membuat harga beli beras impor hanya sekitar Rp 5.800 per kilogram. Padahal, HET beras paling rendah sebesar Rp 9.450 per kilogram. “Pengawasan impor harus lebih ketat karena menyangkut kebutuhan masyarakat,” ujar Faisal.