Pemerintah berencana mencabut kewajiban batu bara untuk pasokan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO), khususnya bagi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Alasannya demi meningkatkan penerimaan negara.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan dengan dicabutnya kewajiban itu bisa menambah penerimaan negara US$ 5 miliar hingga US$ 6 miliar. “Intinya kami mau cabut kebijakan DMO itu. Semuanya,” kata dia di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (27/7).
Dengan tambahan devisa ini harapannya bisa mengurangi beban defisit neraca transaksi berjalan yang tahun lalu sudah mencapai US$ 17,3 miliar. Ujungnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat bisa perkasa lagi.
Rencana ini pun sudah dibahas dalam rapat lintas Kementerian bersama Presiden Joko Widodo dan pengusaha. Hadir dalam rapat tersebut yakni Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono, dan Presiden Direktur Adaro Energy Garibaldi Thohir.
Alasan lainnya adalah penerapan kuota sangat rawan terjadi kongkalikong. Apalagi PLN hanya membutuhkan batu bara yang berkalori rendah. Padahal tidak semua perusahaan tambang, hasil produksi batu baranya cocok dengan kebutuhan PLN.
Akhirnya, perusahaan tambang yang batu baranya tidak memenuhi spesifikasi itu akan mencari dari investor lainnya. Ini menjadi celah pemburu rente. “Kalau beli-beli kuota kan nanti tidak akan bagus. Seperti dulu kuota tekstil zaman saya Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Begitu ada kuota itu pasti muncul trading jadi tidak baik juga,” ujar Luhut.
Kebijakan itu juga nanti bisa meningkatkan produksi sekitar 65 juta hingga 100 juta ton. Saat ini produksi batu bara nasional mencapai 485 juta ton.
Di sisi lain, pemerintah juga tetap memperhatikan dampak pencabutan kebijakan itu terhadap PLN. Menurut Luhut, nantinya akan ada lembaga seperti Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit. Jadi, perusahaan batu bara harus menyisihkan dana sekitar US$ 2 hingga 3 per ton dari setiap penjualan. Dana itu nantinya bisa menjadi cadangan untuk mensubsidi PLN.
Akan tetapi, rencana pencabutan DMO dan skema itu masih perlu pembahasan lanjutan. Bisa saja nanti melalui Peraturan Presiden atau payung hukum lainnya. “Nanti kami putuskan dalam rapat terbatas pada Selasa (31/7).
Namun, menurut Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar kewajiban memasok batu bara ke dalam negeri akan tetap berlaku. Adapun kebijakan yang dihapus adalah patokan harga maksimal untuk domestik. “Bukan kewajiban DMO, tapi cap yang 70 dolar itu yang dicabut,” ujar dia di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (27/7).
(Baca: Hingga 2019, Harga Batu Bara untuk Pembangkit Listrik Maksimal US$ 70)
Kementerian ESDM nantinya akan menghitung formulasi subsidi untuk PLN seperti konsep BPDP. Sedangkan potensi penambahan ekspor batu bara dari dicabutnya DMO perlu melihat beberapa faktor. Seperti analisis dampak lingkungan dan kelayakannya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan nantinya akan berkoordinasi dengan pengusaha batu abar mengenai kebijakan baru tersebut. "Kami dengan Bank Indonesia akan bicara dengan pengusaha-pengusaha batu bara sebagai lanjutan di Bogor kemarin untuk memasukan devisa ekspor mereka," ujar dia di Kantornya.