Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengaku akan berhati-hati dalam menyikapi situasi perang dagang yang tengah dilakukan Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok dan sejumlah negara yang kian memanas
"Kami ikuti terus prosesnya karena kebijakan itu bisa berubah setiap saat," kata Enggar di kantornya, Jakarta, Jumat (22/6).
Kendati demikian, Enggar mengatakan Indonesia tak akan diam menyikapi perang dagang AS dengan sejumlah negara. Menurutnya, Indonesia bakal melihat masalah ini sebagai peluang agar dapat menghasilkan pengalihan perdagangan (trade diversion).
Dengan begitu diharapkan bisa meningkatkan ekspor Indonesia dengan sejumlah komoditas potensial Indonesia serta menggencarkan kerja sama dagang.
"Kalau toh terjadi pengenaan bea masuk yang tinggi antara kedua negara, maka kami akan mencoba masuk," kata Enggar.
(Baca : Pengusaha Minta Pemerintah Waspadai Ketidakpastian Global)
Kamar Dagang Indonesia (Kadin) sebelumnya meminta pemerintah Indonesia mewaspadai ketidakpastian global akibat dari memanasnya perang dagang antara AS dan Tiongkok. Ketidakpastian ini berpotensi memberi celah bagi para spekulan menaikkan harga komoditas, ketika para perwakilan dagang masih meraba jenis komoditas apa saja yang akan dikenakan penambahan tarif.
"Bila ini terjadi yang dikhawatirkan adalah biaya impor/ekspor akan naik dan berpengaruh terhadap biaya produksi yang akhirnya akan dibebankan ke konsumen," kata Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani.
Untuk itu, Shinta menilai Indonesia perlu menunggu kejelasan, baik dari AS maupun Tiongkok. Di luar itu, AS juga tengah melakukan peninjauan kembali program pembebasan tarif bea masuk terhadap impor barang-barang tertentu (Generalized System of Preferences/GSP) dari Indonesia.
"Tanpa (GSP) ini tarif yang harus dibayar akan tinggi dan produk kita seperti garmen dan tekstil bisa menjadi tidak kompetetif," kata Shinta.
(Baca juga : Uni Eropa Balas Serangan Tarif Impor Produk AS)
Konflik perdagangan Amerika Serikat dan Tiongkok semakin memanas. Baru-baru ini, Presiden AS Donald Trump mengancam akan memberlakukan tarif tambahan baru sebesar 10% atas barang-barang Tiongkok senilai US$ 200 miliar.
Dalam pernyataannya, Trump mengatakan telah meminta Perwakilan Perdagangan AS untuk mengidentifikasi produk-produk Tiongkok yang harus dikenakan tarif baru. Dia mengatakan langkah itu merupakan balasan atas keputusan Tiongkok untuk menaikkan tarif sebesar US$ 50 miliar terhadap sejumlah barang-barang AS.
Tak hanya Tiongkok, hubungan dagang AS juga tengah memanas dengan Uni Eropa. Negara tersebut akan memberlakukan tarif impor bea masuk sebesar 25 % terhadap produk AS mulai hari ini, Jumat (22/6) yang dilakukan sebagai aksi balasan atas dikenakannya tarif impor baja dan alumunium sejak awal Juni 2018.
Komisi Uni Eropa menyebut secara resmi akan mengadopsi Undang-Undang yang mengenakan bea masuk senilai 2,8 miliar euro atau setara US$ 3,2 miliar untuk sejumlah komoditas AS, seperti baja dan alumunium, komoditas hasil pertanian seperti jagung dan kacang tanah, sepeda motor, celana jeans, baja, dan aluminium.
Komisi Perdagangan Uni Eropa Cecilia Malmstrom mengatakan, keputusan AS terkait pengenaan tarif unilateral dan tidak dibenarkan, sehingga Uni Eropa tak memiliki pilihan lain untuk merespon langkah AS. "Kami tak ingin berada dalam posisi ini," ujarnya seperti yang dikutip dari Reuters.
Sebelumnya, AS menekan perdagangan Uni Eropa, Kanada dan Meksiko dengan mengenakan tarif sebesar 25% untuk komoidtas baja dan 10% untuk alumunium.
Atas aksinya itu, Kanada disebut akan membalas perlakukan AS dengan memberlakukan tarif baru US$ 12,5 miliar untuk produk impor AS mulai 1 Juli mendatang. Sedangkan Meksiko, juga mengenakan tarif untuk produk Amerika mulai dari baja hingga babi dan bourbon.