Upaya Pemerintah Hadapi Gejolak Rupiah

Donang Wahyu|KATADATA
ilustrasi
Penulis: Michael Reily
18/6/2018, 18.56 WIB

Pemerintah akan melakukan beberapa langkah untuk menghadapi nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Upaya itu yakni mengontrol impor dan meningkatkan ekspor. Ini karena defisit neraca perdagangan menjadi salah satu penyebab melemahnya nilai tukar Rupiah.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kementerian Perdagangan Kasan Muhri menyatakan ada beberapa instrument mengontrol impor. “Contohnya seperti pengenaan kebijakan anti-dumping dan safeguards terhadap barang impor,” kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (18/6).

Selain pengurangan impor, Kementerian Perdagangan mengupayakan peningkatan ekspor. Pemerintah pun sudah menyiapkan empat langkah untuk mendongkrak minat negara lain terhadap produksi Indonesia.

Pertama, peningkatan akses pasar ke negara mitra dagang. Apalagi Komisi Perdagangan telah menyetujui ratifikasi perjanjian dagang Indonesia-Chile Comprehensive Economics Partnership Agreement (CEPA) pada 6 Juni 2018 lalu.

Kedua, diversifikasi pasar ekspor ke negara nontradisional melalui misi dagang dan promosi yang utamanya ke Asia Selatan dan Afrika. Ketiga, promosi produk ekspor di dalam negeri dan luar negeri.

Terakhir, penanganan hambatan dagang dalam bentuk tarif maupun nontarif. “Kami akan melakukan penanganan kenaikan tarif sawit oleh India dan kebijakan yang menghambat ekspor sawit ke Uni Eropa, termasuk Norwegia,” ujar Kasan.

Sementara itu, menurut Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih, langkah paling efektif adalah menekan impor daripada meningkatkan ekspor. Alasannya, ekspor membutuhkan permintaan dari luar negeri. Jadi, Pemerintah harus bekerja lebih keras untuk meyakinkan pasar global.

Upaya meningkatkan ekspor ini pun akan menghadapi tantangan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok mulai efektif berlaku pada 6 Juli mendatang. “Perlu diwaspadai karena permintaan global bisa berkurang,” ujar Lana.

Namun, Indonesia bisa memanfaatkan peningkatan ekspor sawit karena Tiongkok mematok tarif yang tinggi untuk kedelai AS. Jadi, sawit bisa menggantikan kebutuhan kedelai dari Tiongkok.

Di sisi lain, impor menjadi penting untuk dikontrol. Ini karena produk industri untuk ekspor juga masih berbasis mengandalkan bahan baku dari luar negeri.

Industrialisasi dari hulu ke hilir harus ditingkatkan supaya ketergantungan impor bisa dikurangi. “Paling tidak, kita harus tingkatkan industri yang menghasilkan produk setengah jadi,” kata Lana.

Pemerintah juga harus memberikan insentif supaya industri hulu dan hilir berjalan. Ini karena pertumbuhan ekonomi bakal memicu peningkatan impor bahan baku untuk menghasilkan produk dari dunia usaha.

(Baca: Gejolak Kurs Rupiah Diprediksi Bisa Berlangsung Hingga Akhir Tahun)

Hal lain yang perlu dicermati adalah impor hasil pangan dan pertanian yang bisa diproduksi di Indonesia. Lana menyarankan pemerintah memenuhi kebutuhan masyarakat dengan hasil produksi dalam negeri.

Reporter: Michael Reily