Kementerian Perindustrian telah menetapkan lima sektor yang menjadi percontohan dalam penerapan revolusi industri 4.0, salah satunya sektor petrokimia. Namun, pertumbuhan sektor hulu petrokimia yang lambat, membuat sektor ini belum siap menerapkan teknologi 4.0.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, investasi di industri hulu petrokimia yang cukup besar terjadi pada 20 tahun lalu. Selanjutnya hingga kini, investasi berjalan lambat.
Apabila penerapan teknologi 4.0 dipaksakan pada industri hulu petrokimia, maka proses produksinya akan terganggu. "Mengalami hambatan yang bisa merugikan sektor industrinya," kata Sigit di acara Indonesia Industrial Summit (IIS) 2018 di Jakarta Convention Centre, Jakarta, Kamis (5/4).
(Baca juga: Masih Segelintir Industri Makanan dan Minuman Terapkan Teknologi 4.0)
Menurut Sigit, penerapan teknologi 4.0 di industri hulu petrokimia dapat dilakukan bukan di divisi produksi inti, melainkan pada bagian yang memiliki tingkat risiko kecil. Penerapannya dapat dilakukan untuk divisi pengemasan maupun pemantauan.
Percepatan penerapan teknologi 4.0 pun terbuka untuk industri hilir dan investasi baru. Karenanya, Kementerian Perindustrian bakal mendorong masuknya investasi baru di industri petrokimia.
Saat ini sendiri, sudah ada investasi baru dari PT Chandra Asri Petrochemical Tbk., yang berencana meningkatkan kapasitas produksi. Candra Asri berencana membangun satu naphta cracker dengan kapasitas sebesar satu juta ton per tahun.
(Baca: Industri Petrokimia Alami Stagnasi Dua Dekade Terakhir)
Selain itu, perusahaan Lotte Chemical Titan berencana berinvestasi dengan membangun naphta cracker yang memiliki kapasitas satu juta ton per tahun. Ada pula investasi yang dilakukan oleh Genting Oil Kasuri Pte Ltd di Papua untuk produksi metanol.
"Demikian juga PT Pupuk Indonesia bekerja sama dengan Ferrostaal dari Jerman mengerjakan beberapa industri petrokimia di Papua," kata Sigit.
Sigit mengatakan, investasi keempat perusahaan tersebut bakal mampu mengurangi import dari produk hulu petrokimia. Adapun, saat ini industri petrokimia Indonesia hanya mampu menghasilkan 800 ribu ton etilen per tahun melalui Chandra Asri.
Hal ini timpang dengan kebutuhan Indonesia yang mencapai enam juta ton per tahunnya. Angka tersebut akan meningkat hingga 8-9 juta ton per tahun pada 2025.
"Kalau ini bisa kami dapatkan 2025 saya yakin itu bisa mensubstitusi seluruh importasi yang nilainya kurang lebih US$ 20 milliar. Jadi ini butuh waktu. 50% (pengurangan impor) bisa kami lakukan," kata Sigit.