Kadin Ingatkan Bahaya Impor Tinggi yang Tak Bernilai Tambah

Arief Kamaludin|KATADATA
Tenaga kerja berperan penting sebagai pendorong pertumbuhan daya beli
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
19/2/2018, 17.09 WIB

Peningkatan impor bahan baku dan barang modal pada Januari 2018 diyakini sejumlah kalangan menjadi indikasi meningkatnya aktivitas manufakur dalam negeri. Meski demikian, hal tersebut dinilai pengusaha menjadi percuma jika impor bahan baku tidak segera dimanfaatkan untuk memproduksi barang bernilai tambah untuk meningkatkan kontribusi ekspor.

Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani menyatakan pengusaha mesti memanfaatkan impor untuk mendapatkan nilai tambah tinggi bagi barang -barang yang diproduksi di dalam negeri. Dengan memproduksi barang bernilai tambah tinggi, hal itu diharapkan dapat meningkatkan ekspor. “Kalau added value tidak tercipta, itu yang  menjadi masalah,” kata Rosan di Hotel Bidakara, Senin (19/2).

(Baca : Impor Migas Melonjak, Neraca Dagang Januari Defisit US$ 670 Juta)

Nilai impor barang bahan baku mengalami peningkatan pada awal tahun ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa impor bahan baku/penolong sepanjang Januari 2018 meningkat 2,34% menjadi US$ 11,28 miliar dari bulan sebelumnya. Sementara untuk impor barang modal dan konsumsi jutru turun.

Nilai impor bahan baku tersebut berkontribusi sebesar 74,58% terhadap total impor non-migas Indonesia senilai US$ 15,13 miliar. Namun, meningkatnya impor bahan baku belum diikuti dengan naikknya nilai ekspor non-migas. Sebagai informasi, nilai ekspor non-migas Indonesia pada bulan pertama tahun ini justru turun 1,45% menjadi US$ 13,17 miliar dari bulan sebelumnya.

Karenanya, Rosan meminta pembangunan industri manufaktur dalam negeri terus didorong, baik melalui peran pemerintah maupun pengusaha. Kadin mengusulkan perlu dilakukan optimalisasi serta  pemanfaatan sektor industri yang sudah ada. Di samping itu, perlu dukungan bagi perusahaan dalam negeri dalam memperoleh kemudahan regulasi dan kerjasama perjanjian perdagangan.

Menurutnya, kemudahan regulasi dan menghilangkan hambatan izin yang berbelit (debottlenecking) diperlukan oleh para investor dan industri untuk mempermudah proses ekspor. “Regulasi yang menghambat mesti cepat diubah untuk mendorong ekspor,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Rosan juga menyoroti perjanjian dagang yang sedang digelar pemerintah dengan sejumlah negara. Tahap ini menjadi suatu keharusan agar Indonesia memiliki daya saing. Menurutnya, lewat perjanjian dagang, Indonesia berpotensi mendapat pembebasan tarif ekspor untuk komoditas yang ditetapkan antara Indonesia dan negara tujuan. Saat ini, Indonesia tengah berupaya mengejar penyelesaian 18 perjanjian dagang.

(Baca juga : Ekspor Nonmigas Sokong Neraca Dagang 2017 Surplus US$ 11,84 Miliar) 

Tak hanya itu, pemanfaatan tekonologi pada sektor perdagangan, khususnya pada era ekonomi digital juga dinilai penting. Pasalnya, penguasaan teknologi diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas, di samping mendorong produktivitas serta meningkatkan hasil produksi.

Namun Rosan mengingatkan agar pemerintah tidak terlalu memanfaatkan digitalisasi ke arah otomatisasi mesin. Sebab, penggunaan mesin justru dikhawatirkan akan menggantikan peran tenaga kerja, yang mana di satu sisi peningkatan jumlah tenaga kerja juga dianggap penting sebagai  pendorong pertumbuhan daya beli masyarakat. “Karenanya, kebijakan pemerintah harus hati-hati,” tutur Rosan.

Sementara, Wakil Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Sugiharto menuturkan industry 4.0 bisa memberikan peningkatan dengan tidak bergantung kepada cara yang konvensional. “Pengaruh teknologi bisa memberdayakan ekonomi sehingga pemerataan seharusnya jadi panduan,” ujar Sugiharto.

Reporter: Michael Reily