Sekitar 40% Perusahaan Publik Kurangi Karyawan Setahun Terakhir

ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Buruh pabrik garmen di Citeureup, Bogor, Jawa Barat, Senin (20/2).
Penulis: Yudi S.A.
Editor: Yura Syahrul
12/10/2017, 07.00 WIB

Penurunan jumlah karyawan pada banyak perusahaan terjadi di tengah membaiknya indikator makroekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, kestabilan kurs rupiah, dan rendahnya inflasi, dalam beberapa tahun terakhir. Tapi perbaikan ini tak sepenuhnya sejalan dengan beberapa indikator mikroekonomi, termasuk daya beli masyarakat.

Indikasi yang ada menunjukkan bahwa walaupun daya beli secara agregat tumbuh, laju pertumbuhannya melambat. Contohnya data penjualan 55 kategori produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG) di Indonesia yang dicatat Nielsen menunjukkan pertumbuhan penjualan 3,4% pada periode Januari-Mei 2017, lebih rendah dibanding 10,7% pada periode yang sama tahun lalu.

Hal serupa juga dialami oleh negara lain seperti Vietnam dan India

Mengapa konsumsi datar?

Bank Dunia tidak memiliki jawaban jelas penyebab tingkat konsumsi masyarakat di Indonesia cenderung datar. Ekonom senior Bank Dunia, Frederico Gil Sander, hanya memiliki beberapa hipotesa yang berusaha menjelaskan, mengapa tingkat konsumsi masyarakat tidak mencerminkan keadaan makroekonomi yang bagus.

Hipotesanya antara lain adalah langkah reformasi pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang walaupun bersifat menguatkan dalam jangka panjang, telah menyebabkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian jangka pendek sehingga mengerem sementara laju roda ekonomi.

"Ada pergeseran dari pemberian subsidi (energi) menjadi pengeluaran modal (proyek infrastruktur)," ujar Frederico dalam laporan riset tanggal 3 Oktober 2017. "Juga ada peningkatan upaya untuk memacu rasio pajak terhadap PDB (Pendapatan Domestik Bruto). Hal ini ke depannya akan memperkuat pemerintah dalam bekerja dan memberikan pelayanan ke publik.”

Sejumlah pengusaha yang selama bertahun-tahun cenderung lemah dan tidak transparan dalam pelaporan pajaknya, memilih menahan diri dalam berekspansi usaha. Sebab, mereka khawatir terhadap langkah pembenahan pemerintah yang bertujuan menggenjot penerimaan pajak.

Sejak menjabat pada Oktober 2014, Presiden Jokowi banyak mengalokasikan anggaran untuk program jangka panjang, seperti pembangunan jalan, pelabuhan, dan pembangkit listrik, yang dampaknya baru bisa terasa dalam 2-3 tahun.

Senada dengan Bank Dunia, ekonom Faisal Basri menggarisbawahi bahwa hampir semua indikator makroekonomi membaik dan stabil dalam kurun waktu cukup lama. Hal ini jarang terjadi pada masa lalu.

Inflasi di bawah 4%, terendah sejak krisis 1998, suku bunga berangsur turun, dan cadangan devisa meningkat. "Kondisi umum perbankan relatif sehat. Nilai ekspor tumbuh dua digit, setelah 5 tahun berturut-turut selalu merosot," katanya.

Halaman: