Penjualan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, produsen Indomie, susu Indomilk dan makanan ringan Chitato, turun 2,7% pada kuartal kedua 2017. Penurunan ini yang pertama kali sejak beberapa tahun terakhir, di tengah meningkatnya kompetisi dan pelemahan daya beli.
Penjualan turun menjadi Rp 9 triliun pada periode April-Juni 2017, dibanding Rp 9,25 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Angka kuartal kedua ini diperoleh dari pendapatan perusahaan enam bulan pertama yang dikurangi dengan pendapatan tiga bulan pertama.
Secara per semester, pendapatan perusahaan naik sedikit menjadi Rp 18,46 triliun pada Januari-Juni, dibanding Rp 18,18 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya, menurut laporan keuangan yang dipublikasikan Indofood CBP, Jumat (28/7) .
"Kondisi makroekonomi domestik tetap positif pada semester pertama tahun 2017, tapi permintaan untuk fast moving consumer goods melandai. Kompetisi terhadap produk perusahaan kami meningkat," ujar Anthoni Salim, Presiden Direktur ICBP, dalam keterangan pers yang dimuat di website perusahaan.
Anthoni menambahkan, perusahaan akan tetap berhati-hati selama paruh kedua tahun ini.”Sambil meningkatkan usaha kami untuk melayani konsumen dengan lebih baik dan meyakinkan bahwa kami tetap kompetitif di pasar," katanya.
Laba bersih produsen mi instan terbesar di Asia Tenggara ini turun tipis menjadi Rp 1 triliun pada kuartal kedua tahun ini, dari Rp 1,03 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Meski begitu, secara umum, Ekonom Rhenald Kasali meragukan adanya penurunan daya beli saat ini, seperti disuarakan oleh beberapa pihak termasuk Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo).
"Kajian yang kami lakukan pada dataran mikro menunjukkan uang sedang berpindah, atau shifting, dari kalangan menengah-atas ke ekonomi rakyat," ujar Rhenald. "Dan para elit sekarang sedang sulit karena peran sebagai 'middleman' mereka pudar akibat disruptive innovation, lalu meneriakkan daya beli turun".
Mengutip Aprindo yang melaporkan bahwa penjualan yang dicapai anggota asosiasi turun 20% pada semester pertama, Rhenald menjelaskan bahwa hal itu juga menggambarkan uang yang sedang berpindah.
"Ini mulai mengikuti pola angkutan taksi yang sudah turun sekitar 30%-40% tahun lalu. Apakah karena daya beli? Bukan. Penyebabnya adalah shifting ke taxi online," ujar Rhenald memberikan analogi.