Pemerintah melanjutkan pembahasan perjanjian investasi bilateral atau Bilateral Investment Treaty (BIT) dengan Uni Emirat Arab (UEA). Perundingan ini dimulai sejak Menteri Energi UEA Suhail Mohammed Faraj al Mazroui menemui Presiden Jokowi bulan Mei lalu dan menawarkan investasi sebesar US$ 5 miliar atau sekitar Rp 67 triliun.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar mengatakan tim pemerintah tengah mengunjungi pihak UEA untuk mempercepat prosesnya. gabungan dari Kementerian ESDM, Kementerian Luar Negeri, dan Bank Indonesia
"Kami koordinasi dulu apa poin-poin apa yang akan kami bicarakan," kata Arcandra di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jumat, (7/7).
(Baca juga: Kesepakatan Rp 6,7 Triliun, Buah 'Kemesraan' Jokowi - Erdogan)
Ada 4 poin dalam BIT yang ditawarkan pihak UEA untuk menjamin keamanan investasinya di Indonesia. Empat poin yang akan dibahas pada perundingan adalah pengambilalihan asset oleh pemerintah atau expropriation, penyelesaian sengketa antara pemerintah dan investor, persamaan perlakuan dan portofolio investasi.
Keempat hal ini, menurut Arcandra, menjadi ganjalan pemerintah untuk menyelesaikan perundingan. Dia menyatakan, pemerintah sedang mencari cara terbaik untuk mengakali Investor-state dispute settlement (ISDS) karena bertabrakan dengan Undang-undang Penanaman Modal Pasar.
Arcandra mengatakan bahwa pemerintah akan mempercepat proses penyelesaian perundingan kerja sama karena arahan dari Presiden Jokowi. Menurut dia, jika semua berjalan lancar, dalam beberapa bulan ke depan akan ditandatangani keputusan kerja sama.
(Baca juga: Petronas Siap Kucurkan US$ 80 Juta untuk Mengebor 2 Sumur di Bukit Tua)
Pemerintah UEA, sambung Arcandra, mengincar investasi di sektor minyak dan gas bumi, energi terbarukan, dan ketahanan pangan. Dia mengumpamakan BIT adalah pintu untuk investasi asing di Indonesia. "Selama pintu enggak kita buka, enggak bisa dia (UEA) tanda tangan, berat rasanya investasi asing masuk ke Indonesia," katanya.