Evolusi Cantrang, Yang di Masa Orde Baru Ramah Lingkungan

ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Nelayan menjala ikan menjelang matahari terbenam di pesisir Laut Ulee Lheu, Banda Aceh, Aceh, Selasa (14/3).
Penulis: Pingit Aria
1/5/2017, 08.00 WIB

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menilai cantrang sebagai alat tangkap ikan yang dapat merusak lingkungan. Melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 tahun 2015, Susi pun melarang penggunaannya. Namun, lebih dari 20 tahun lalu, cantrang ternyata pernah dikategorikan ramah lingkungan.

Hal itu diungkapkan oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sjarief Widjaja. Ia menjelaskan, larangan penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, termasuk trawls sebenarnya telah dikeluarkan di masa pemerintahan Presiden Soeharto lewat Keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1980.

Saat itu, masyarakat pun mulai mencari alternatif pengganti sehingga menciptakan cantrang. “Awalnya cantrang itu ramah lingkungan. Tetapi belakangan mulai dimodifikasi,” kata Sjarief dalam keterangan tertulisnya, Jumat (28/4).

(Baca juga: Ramai Diprotes, Jokowi Akan Panggil Susi Soal Larangan Cantrang)

Ia menjelaskan, ukuran cantrang yang digunakan oleh nelayan di masa Orde Baru hanya belasan hingga puluhan meter persegi. Selain itu, jaringnya tidak menggunakan pemberat. Sehingga setelah dilempar hingga tenggelam menyentuh dasar, jaring hanya akan menyapu permukaan dengan lembut saat ditarik nelayan. Dengan demikian, ikan-ikan terangkat, namun karang di dasar laut tak rusak.

Sementara cantrang yang saat ini banyak digunakan lebarnya bisa mencapai puluhan hingga ratusan kilometer. Cantrang itu juga diberi pemberat, sehingga saat ditarik dengan mesin (bukan lagi tenaga manusia), pemberat ini akan menggaruk permukaan yang dilaluinya dengan kasar. “Itu sudah tidak ramah lingkungan,” kata Sjarief.

Selain itu, menurut Sjarief, cantrang saat ini umumnya digunakan oleh kapal-kapal besar yang berukuran di atas 30 Gross Ton (GT). Ia juga mengungkapkan, sebagian kapal cantrang juga melakukan mark down. “Banyak kita temui, kapal cantrang katanya 20 GT, pas diukur ternyata 80 GT. Dibuat di bawah 30 GT untuk menghindari pajak,” ujarnya.

(Baca juga: Pengusaha Desak Susi Batalkan Larangan Penggunaan Cantrang)

Pada 2015, KKP mencatat ada 5.781 unit cantrang di seluruh Indonesia. Kemudian, KKP mengganti  1.529 unit di antaranya dengan alat tangkap ramah lingkungan. “Dan proses tersebut masih terus berlanjut,” ujarnya.

Sjarief pun menyayangkan kecurangan yang terus terjadi. Sebab di awal 2017, KKP mencatat kenaikan alat tangkap cantrang menjadi 14.357 unit.

Menurut Sjarief, pemerintah tidak hanya melarang cantrang tanpa solusi bagi nelayan. Sebab menurutnya, untuk kapal di bawah 10 GT, penggantian alat tangkap akan disediakan seluruhnya oleh pemerintah. Adapun untuk kapal 10-30 GT, pemerintah membantu fasilitas permodalan dari bank. 

(Baca juga:  Ramai Diprotes, Susi Ngotot Pertahankan Larangan Cantrang)

Sementara, untuk kapal di atas 30 GT, pemerintah menyediakan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di laut Arafura dan Natuna yang dulu umumnya dikuasai asing. “Ratusan kapal yang sudah ke timur (Arafura), itu untungnya luar biasa. Tangkapannya besar, jenis ikannya mahal-mahal,” ungkap Sjarief.

Hal ini juga ditegaskan Menteri Susi. Menurutnya, dulu Laut Aru, Arafura, Ambon, dan Maluku dikuasai kapal asing. Sekarang pemerintah membuka lebar WPP tersebut bagi nelayan Indonesia. “Kita buka lebar-lebar silakan, tetapi jangan rusak dengan alat tangkap yang merusak lingkungan,” tutur Menteri Susi.

Reporter: Muhammad Firman