Satu Wajah, Dua Warga Negara

Katadata
31/3/2017, 15.51 WIB

Kejanggalan lainnya, KTP itu ditandatangani oleh Zulfakir Gaib. Benar bahwa Zulfakir pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Catatan Sipil Boltim, namun yang bersangkutan ternyata telah meninggal sejak Desember 2014.

“Sehingga tidak mungkin menjadi penandatangan KTP yang dikeluarkan pada 6 Januari 2016,” tertulis dalam laporan pemeriksaan. Namun, belum diperoleh kejelasan siapa pihak yang bertanggung jawab atas pembuatan KTP palsu ini.

Semakin Marak

Junel hanyalah salah satu warga negara Filipina yang menyambung hidup dengan bekerja pada pemilik kapal di Bitung. Pendidikan yang hanya sampai tingkat sekolah dasar membuatnya tidak bisa bekerja di kapal penangkap ikan berukuran besar yang beroperasi di Filipina.

Sulitnya mendapatkan ikan di Filipina dengan kapal penangkap ikan kecil dan kabar yang berhembus soal peluang bekerja sebagai nelayan di Bitung, mendorongnya meninggalkan General Santos pada Agustus 2015.

“Tinggal di kapal dan diberi makan Denis. Uang (hasil tangkapan) dikirim untuk istri, biasanya 3000 peso (sekali kirim),” ujarnya.

Sebelum tertangkap, Junel mengaku sudah lima kali menangkap ikan dengan menggunakan KM D’Von. Namun, baru sejak Agustus 2016 dia melaut berbekal KTP Indonesia.

Bisa jadi, karena patroli laut semakin ketat, Denis Luas meminta para awak kapal “mengamankan diri” dengan membuat KTP Indonesia. Menurut penuturan Junel, proses perekaman retina dan pengambilan sidik jari dilakukan di kantor Dinas Kependudukan Kota Bitung. Sedangkan persyaratan lainnya diurus oleh Denis.

Setahun sebelum bertemu dengan Nancy Sinombor di Dinas Kependudukan Bitung, Denis sesungguhnya lebih dulu mengenal Usman di kompleks pelabuhan PT Perikani. Dia menawarkan jasa pembuatan KTP Bolaang Mongondow Timur untuk nelayan Filipina yang bekerja di KM Tripel D.

KTP diproses Usman tanpa perlu perekaman sidik jaridan retina. Hanya isian biodata dan biaya Rp 200 ribu per nama yang diminta. Lima hari setelah pembayaran, KTP model laminating yang dijanjikan, diserahkan Usman kepada Denis. Berlaku sejak 1 Juni 2015 hingga 27 Januari 2019.

Pembuatan KTP palsu rupanya memang semakin marak, sebagai siasat para pemilik kapal penangkap ikan agar nelayan asal Filipina tetap bisa melaut dengan menggunakan kapal mereka. Seorang nelayan kelahiran Davao, Filipina, yang kami temui mengaku mereka menuruti permintaan itu agar tetap bisa melaut.

 Dengan hanya membayar Rp 500 ribu kepada seorang Lurah di Kabupaten Minahasa Utara, dia dan lima orang nelayan asal Filipina lainnya mendapatkan KTP elektronik yang dikeluarkan Dinas Kependudukan Kabupaten Minahasa Utara.

Dengan hanya membayar Rp 500 ribu kepada seorang Lurah di Kabupaten Minahasa Utara, dia dan lima orang nelayan asal Filipina lainnya mendapatkan KTP elektronik yang dikeluarkan Dinas Kependudukan Kabupaten Minahasa Utara.

Tak hanya KTP elektronik, Akta Kelahiran dan Kartu Keluarga pun didapat. “Padahal saya belum punya anak dan istri,” ujarnya sambil tertawa.

Biaya berbeda dibebankan untuk pembuatan KTP di Kota Bitung. Seorang nelayan kelahiran General Santos, Filipina, mengaku harus merogoh kocek hingga Rp 1,5 juta untuk KTP elektronik yang berlaku seumur hidup.

Dia bersama 10 nelayan asal Filipina lainnya yang bekerja untuk pemilik kapal yang sama menjalani proses pembuatan KTP elektronik layaknya Warga Negara Indonesia. “Saat mengantre harus ingat nama belakang,” ujarnya. “Ini karena nama fam (marga Filipina) sudah diubah. Identitas lainnya masih sama,” ujarnya.”

Tak Kapok

Kasus yang melibatkan Denis Luas hanyalah gunung es dari maraknya praktek Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing di Bitung dengan modus pembuatan KTP palsu. Dimejahijaukanya kasus yang menyeret Denis Luas dan Nancy Sinombor tetap tidak menghentikan aksi pembuatan KTP palsu untuk nelayan Filipina.

Penelusuran kami di lapangan menemukan bahwa modus ini juga banyak dilakukan oleh pemilik kapal lainnya. Makelar yang menawarkan jasa pembuatan KTP pun masih berkeliaran. Seorang yang mengaku bisa membantu mengurus pembuatan KTP di Dinas Kependudukan Minahasa Timur ikut menawarkan jasanya kepada kami dengan biaya Rp 1 juta per nama.

Tak mengherankan, masih banyak nelayan Filipina yang nekad “bermain api” dengan memalsukan identitas dirinya. Kebanyakan nelayan Filipina yang memegang KTP Indonesia itu bekerja di kapal jenis pump boat yang ukurannya tak lebih dari 10 gross ton. Mereka memang dikenal mahir menggunakan kapal jenis ini untuk memancing tuna dengan metode pancing ulur (handline).

Pump boat tak hanya buatan Filipina, ada pula yang buatan lokal. Kapal kecil jenis ini kian diminati para pengusaha ikan, khususnya setelah kapal-kapal besar eks-asing tidak bisa lagi beroperasi di perairan Indonesia. Selain itu, harganya tergolong murah dengan risiko kecil. Sehingga peluang keuntungan yang bisa didapat pun dipandang lebih menggiurkan.

Tumpukan kapal pakura (kapal tradisional khas Filipina) yang biasa digunakan untuk menangkap tunaKapal ini banyak digunakan nelayan Filipina untuk mencuri ikan di Bitung. Donang Wahyu|KATADATA
Dengan biaya Rp 100 juta, nelayan bisa mendapatkan pump boat  dilengkapi dengan delapan pakura (perahu kecil di sisi kini-kanan) dan siap melaut. Donang Wahyu|KATADATA

Madok, pembuat kapal di Manemo-nembo, Bitung hanya mematok harga Rp 50 juta untuk pembuatan pump boat dengan bobot mati 3 gross ton. “Mesin yang digunakan biasanya mesin 4 silinder bekas truk,” katanya. Hanya kurang dari Rp 100 juta, pump boat baru pun sudah dilengkapi dengan delapan pakura (perahu kecil di sisi kini-kanan) dan siap melaut.

Persoalannya, teknik menangkap ikan dengan metode pancing ulur tak banyak dikuasai nelayan asal Bitung. “Nelayan lokal banyak yang tidak berani menggunakan pakura untuk menangkap ikan di laut lepas karena ukurannya kecil. Dihantam ombak bisa terbalik,” kata Madok.

  Hingga pertengahan Januari 2017, tercatat sudah 167 warga negara asing yang menempati detensi PSDKP Bitung. Seorang diantaranya WN Vietnam, sedangkan sisanya merupakan WN Filipina. 

Karena itu, nelayan Filipina lebih disukai. “Etos kerja nelayan Filipina juga dinilai lebih tinggi, karena berada jauh dari kampung halaman,” kata Madok.

Hingga pertengahan Januari 2017, tercatat sudah 167 warga negara asing yang menempati detensi PSDKP Bitung. Seorang diantaranya WN Vietnam, sedangkan sisanya merupakan WN Filipina. Dan hampir seluruh nelayan Filipina yang tertangkap itu, menangkap ikan dengan menggunakan pump boat. Peluang ini yang kemudian ramai dijajakan oleh para pengusaha penangkap ikan kepada nelayan asal Filipina. Mereka bersiasat dengan mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia untuk nelayan Filipina yang bekerja di kapalnya. Pengurusannya tersebar di sejumlah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Utara.

Di lapangan, Peraturan Menteri KKP Nomor 58 Tahun 2014 yang diteken Susi Pudjiastuti ternyata belum cukup bertaji. Aturan ini belum sepenuhnya berhasil membendung penggunaan nelayan asing di kapal-kapal penangkap ikan—lokal maupun asing—yang menjala di perairan Indonesia.

Halaman:
Reporter: Metta Dharmasaputra