Kebijakan Presiden baru Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang bakal mengutamakan kepentingan di dalam negerinya, tidak serta-merta merugikan negara lain. Rencana Trump menggenjot sektor pengolahan (manufaktur) AS misalnya, berpotensi mendongkrak harga komoditas. Bila ini terjadi, Indonesia bisa diuntungkan.
Investment Director Aberdeen Asset Management Bharat Joshi menuturkan, harga beberapa komoditas seperti minyak sawit mentah (crude price oil/CPO), karet, nikel, dan tembaga mulai meningkat seiring dengan kenaikan permintaan di negara maju. Ke depan, ia berharap permintaan juga bakal bertambah dari AS seiring berkembangnya sektor manufaktur di negara tersebut.
“Diharapkan dengan kemajuan ekonomi AS dan manufakturnya akan mendorong kenaikan harga komoditas,” kata Bharat saat media briefing di kantornya, Jakarta, Selasa (24/1). Dengan begitu, Indonesia sebagai negara penghasil tambang dan aneka komoditas perkebunan bisa meraup keuntungan lebih besar dari ekspor komoditas tersebut.
Lebih jauh, Joshi menjelaskan, kenaikan harga komoditas tersebut juga bisa mendorong perusahaan untuk berinvestasi. (Baca juga: Proteksi Trump, Tantangan sekaligus Peluang bagi Ekspor Indonesia)
Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank Mandiri bidang Riset Industri dan Wilayah Dendi Ramdani mengungkapkan, harga CPO dan minyak mentah sudah naik 42,6 persen dan 48,3 persen sejak per 20 Desember 2016. Komoditas lainnya yang mengalami kenaikan harga yakni batubara, nikel, dan tembaga.
Tahun ini, Dendi memperkirakan harga minyak mentah bisa mencapai US$ 55-US$ 60 per barel. Kemudian harga CPO diproyeksikan sebesar US$ 650-US$ 700 per ton dan batubara US$ 70 per ton. Selain itu, harga karet, nikel, dan tembaga berturut-turut sebesar US$ 2 per kilogram (kg), US$ 10 ribu per ton, dan US$ 4.850 per ton.
“Kenaikan (harga komoditas) ini akan membantu pertumbuhan ekonomi di wilayah Indonesia penghasil tambang ataupun perkebunan, sehingga mendorong perekonomian secara keseluruhan,” ujar Dendi.
Sayangnya, menurut Chief Economist Bank CIMB Niaga Adrian Panggabean, keinginan Trump menggenjot industri manufaktur-nya dengan menarik investasi dari Cina sulit terealisasi. Pangkal soalnya, produktivitas di AS tak akan mampu menampung investasi tersebut. (Baca juga: Indonesia Lanjutkan Perundingan Dagang dengan Uni Eropa)
Dalam catatannya, tingkat pengangguran di AS rendah. Jumlah orang yang bekerja dan mencari kerja di AS (labor force participation rate) saat ini sudah kembali ke posisi seperti 1980-an. Selain itu, ekosistem investasi dari AS di Cina juga sudah terbentuk.
Apabila AS hendak menarik investasi tersebut, harus membentuk ekosistem baru dan membutuhkan waktu lama. Dalam jangka pendek, harga produk yang semula dijual murah ketika diinvestasikan di Cina menjadi mahal di AS. “I Phone, misalnya, bisa dijual US$ 1.000, siapa yang mau beli? Jeans juga begitu,” kata Andri.