Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan pada November lalu sebesar US$ 837,8 juta. Nilainya lebih kecil dibandingkan surplus dagang bulan sebelumnya yang sebesar US$ 1,21 miliar. Salah satu penyebabnya, lonjakan impor mesin dan peralatan listrik, terutama telepon seluler (ponsel), sepanjang November lalu.
Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo menjelaskan, nilai impor pada November lalu mencapai US$ 12,66 miliar atau naik 9,88 persen bila dibandingkan bulan sama tahun lalu. Adapun dibandingkan Oktober 2016, impor naik 10 persen. Namun, secara kumulatif, impor Januari-November 2016 mencapai US$ 122,86 miliar atau turun 5,94 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Secara lebih rinci, Sasmito menjelaskan, impor nonmigas pada November 2016 mencapai US$ 10,90 miliar atau naik 9,39 persen jika dibandingkan bulan sebelumnya. Adapun jika dibandingkan November 2015, impor naik 10,31 persen. Di sisi lain, impor migas mencapai US$ 1,76 miliar atau naik 13,89 persen dibanding bulan sebelumnya dan naik 7,27 persen dibandingkan November 2015.
“Peningkatan impor nonmigas terbesar pada November 2016 masih didominasi mesin dan peralatan listrik yang naik 15,23 persen menjadi US$ 210,3 juta, terutama dari perangkat handphone,” ujar Sasmito dalam konferensi pers di kantor BPS, Jakarta, Kamis (15/12). (Baca juga: Impor Mesin dan Ponsel Cina Naik, Surplus Dagang Oktober Susut)
Peningkatan yang cukup tinggi juga terjadi pada golongan mesin dan peralatan mekanik sebesar US$ 149,8 juta, perhiasan dan permata US$ 115,3 juta, dan senjata amunisi US$ 51,3 juta. Sementara itu, penurunan impor terbesar pada golongan kapal laut dan bangunan terapung yang turun 40,97 persen menjadi US$ 55,8 juta.
Meski begitu, secara kumulatif impor selama Januari-November 2016 tercatat menurun 5,94 persen dibandingkan periode sama tahun lalu menjadi US$ 122,86 miliar. Impor migas menyumbang sebesar US$ 17,07 miliar atau turun 25,17 persen dan nonmigas sebesar US$ 105,79 miliar atau turun 1,87 persen.
Tiga negara impor nonmigas terbesar sepanjang Januari-November 2016 adalah Cina dengan nilai US$ 27,55 miliar atau 26,04 persen dari total impor, Jepang sebesar US$ 11,84 miliar atau 11,20 persen, dan Thailand sebesar US$ 7,95 miliar atau 7,52 persen. Sedangkan impor nonmigas ke ASEAN mencapai 21,57 persen, sementara Uni Eropa hanya 9,18 persen.
Di sisi ekspor, Sasmito menjelaskan, kinerjanya membaik. Nilai ekspor pada November 2016 mencapai US$ 13,50 miliar atau naik 5,91 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Kenaikan bahkan mencapai 21,34 persen jika dibandingkan November 2015.
Ia merinci, ekspor nonmigas pada November lalu mencapai US$ 12,39 miliar, naik 6,04 persen dibanding bulan sebelumnya. Sementara itu, bila dibandingkan November 2015, ekspor naik 28,75 persen.
Namun, secara kumulatif, nilai ekspor Januari-November 2016 tercatat US$ 130,65 miliar atau turun 5,63 persen dibanding periode sama tahun 2015. Sedangkan, khusus ekspor nonmigas di periode tersebut baru mencapai US$ 118,80 miliar atau turun 1,96 persen.
BPS mencatat, ekspor komoditas yang naik paling tinggi pada November lalu adalah lemak dan minyak hewan nabati sebesar US$ 366,1 juta atau 20,37 persen. Komoditas yang menyumbang kenaikan tertinggi yaitu Crude Palm Oil (CPO) baik ekspor minyak sawit atau minyak goreng. Kemudian, Bahan Bakar Mineral juga mengalami kenaikan menjadi US$ 101,6 juta yang didominasi Batubara. Lalu, perhiasan dan permata yang naik menjadi US$ 87,3 juta.
"Kenaikan CPO terutama didorong oleh kenaikan volume, padahal harga sedikit turun," kata Sasmito. Sedangkan batubara mengalami kenaikan volume dan harga, perhiasan dan permata juga hanya mengalami kenaikan volume ekspor. (Baca juga: Skenario Dagang Indonesia – Amerika Serikat: Dengan Trump, Tanpa TPP)
Bila dilihat dari daerah tujuan ekspor, ekspor nonmigas terbesar ke Cina yaitu sebesar US$ 1,81 miliar. Kemudian, disusul Amerika Serikat US$ 1,33 miliar, Jepang sebesar US$ 1,30 miliar, dan Uni Eropa (28 negara) sebesar US$ 1,34.
Sedangkan secara kumulatif pada Januari-November 2016, ekspor masih didominasi Amerika Serikat dengan total US$ 130,65 miliar. Namun, angka ini turun 5,63 persen jika dibandingkan periode sama tahun 2015 yang sebesar US$ 138,45 miliar.
Dengan perkembangan perdagangan internasional pada November lalu, neraca dagang sepanjang periode Januari-November 2016 tercatat surplus US$ 7,79 miliar. Meski begitu, Sasmito menilai, tren positif neraca perdagangan harus disikapi secara hati-hati oleh pemerintah. Alasannya, pemangkasan produksi minyak yang dilakukan negara-negara OPEC akan menekan surplus tersebut, sebab impor migas yang masih cukup tinggi.
(Baca juga: Efek Trump, Pengusaha Minta Pemerintah Ubah Strategi Dagang)
Sebagai kompensasinya, Sasmito menyarankan agar pemerintah menggenjot surplus di sektor nonmigas. "Komoditas yang bisa gantikan, selain tradisional seperti CPO, batubara, karet, lada, cokelat, dan produk-produk manufaktur juga harus didorong. Karena produk manufaktur kita alami perbaikan yang lumayan," ujarnya.