Pemerintah tengah mempercepat revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 52 Tahun 2000 mengenai Penyelenggaraan Telekomunikasi. Tujuannya untuk mendorong peningkatan penetrasi internet secara merata di seluruh Indonesia. Ujung-ujungnya, negara ini bisa menikmati berkah ekonomi digital yang tengah berkembang.
“Revisi PP diperlukan untuk membangun Indonesia agar tidak tertinggal,” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di Katadata Forum bertajuk “Konektivitas Telekomunikasi Indonesia di Era Ekonomi Digital” di Jakarta, Selasa (29/11).
Salah satu dampak dari revisi PP tersebut adalah terbukanya kesempatan praktik berbagi jaringan atau network sharing antaroperator. Operator yang tidak memiliki infrastruktur di wilayah tertentu bisa menyediakan layanan dengan memanfaatkan jaringan yang dibangun oleh operator yang sudah eksis. “Network sharing itu harus, bukan barang baru,” kata Rudiantara.
(Baca: Menteri BUMN Setuju Aturan Baru Berbagi Jaringan Telekomunikasi)
Menurut Rudiantara, revisi PP dan praktik network sharing merupakan upaya untuk memberikan manfaat lebih besar kepada masyarakat, sekaligus membangun industri secara keseluruhan. Ia mengatakan, tanpa network sharing maka satu perusahaan bisa saja tumbuh besar, namun dampaknya justru akan mengerdilkan industri, sehingga Indonesia tertinggal.
Ia pun menjamin, operator yang sudah eksis di suatu wilayah tidak akan dirugikan oleh praktik berbagi jaringan tersebut. Nilai investasi yang sudah ditanamkan oleh satu operator akan diperhitungkan dalam skema network sharing. “Tentu ada klausul (di revisi) yang mengatur soal itu, dan itu sesuai dengan azas fairness,” ujarnya.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Katadata Research, setidaknya terdapat tiga kendala yang dihadapi Indonesia guna memacu perkembangan ekonomi digital. Pertama, kualitas akses data internet masih timpang. Di Jakarta, kecepatan sinyal internet bisa mencapai 7 Mbps. Namun, di luar Jawa jauh lebih rendah. Bahkan, di Papua, kecepatan mengunduh masih di bawah 1 Mbps.
(Baca: Hitung Ulang Tarif Interkoneksi, Kemenkominfo Tunjuk BRTI)
Kedua, jangkauan sinyal seluler di Indonesia masih belum merata. Menurut hasil Sensus Telekomunikasi yang digelar BPS pada 2014, jangkauan sinyal kuat hanya mencakup 68 persen atau 56 ribu desa/kelurahan di seluruh Indonesia. Sedangkan, 23 persen atau 19 ribu desa/kelurahan, sinyalnya tergolong lemah. Sisanya, sebesar 9 persen atau 7 ribu desa, belum menerima sinyal seluler.
Ketiga, kendati pertumbuhan kecepatan akses internet cukup pesat, namun kecepatannya masih di bawah rata-rata dunia. Menurut laporan “State of the Internet” yang dirilis pada kuartal II 2016, kecepatan akses internet Indonesia rata-rata masih sekitar 5,9 Mbps, masih berada di bawah rata-rata kecepatan akses internet dunia sebesar 6,1 Mbps.
“Meski menjadi perdebatan, revisi PP No. 52 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang mengakomodasi sistem network sharing atau berbagi jaringan akan mendorong pemerataan penetrasi akses telekomunikasi dan internet,” kata Adek Media Roza, Head of Research Katadata Research, di acara yang sama.
Melalui sistem network sharing ini, Katadata Research merangkum setidaknya terdapat sejumlah manfaat yang bisa diperoleh. Pertama, efisiensi biaya untuk semua penyelenggara jasa telekomunikasi. Kedua, adanya perluasan jangkauan dan akses internet ke masyarakat. Ketiga, peningkatan kualitas data dan suara. Keempat, harga produk menjadi lebih bersaing. Kelima, peluang bisnis digital terbuka dan produktivitas ekonomi digital meningkat.
Belajar dari pengalaman sejumlah negara terlihat bahwa kebijakan network sharing banyak mendatangkan manfaat bagi konsumen. Hal itu terjadi di Inggris, Prancis, Swedia, Tunisia, India dan Australia. Di beberapa negara tersebut, kebijakan network sharing berdampak pada perluasan jangkauan jaringan 3G, penurunan tarif internet, perbaikan layanan dan kualitas data, serta konsumsi data semakin meningkat.
(Baca: Menkominfo Dorong Operator Telekomunikasi Berbagi Jaringan)
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menekankan pemerintah perlu mengambil terborosan untuk memanfaatkan perkembangan ekonomi digital di Indonesia. Potensi pasar yang sangat besar ini tidak boleh ditinggalkan.
Bahkan, Presiden berkeyakinan Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar di kawasan Asia Tenggara pada 2020. Pada saat itu, diperkirakan nilai transaksi e-commerce di Indonesia akan mencapai Rp 1.690 triliun, jauh lebih besar dari perkiraan tahun ini yang mencapai Rp 260 triliun.