Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menilai skema network sharing atau pembangunan dan pengelolaan jaringan bersama merupakan solusi untuk mewujudkan industri telekomunikasi yang lebih efisien. Skema ini juga dapat mengatasi masalah kekurangan dana investasi pembangunan jaringan pita lebar sebesar US$ 14 miliar dari total kebutuhan US$ 28 miliar selama 2015-2019.
“Industri telekomunikasi Indonesia selama ini dikenal tidak efisien,” kata Rudiantara dalam sebuah seminar tentang telekomunikasi di Jakarta, Kamis (3/11).
Padahal, efisiensi dalam pembangunan jaringan telekomunikasi sangat diperlukan guna mengejar target pemerintah. Target itu adalah ketersediaan layanan akses jaringan internet pita lebar yang mencakup 514 kabupaten di seluruh Indonesia.
Rudiantara memaparkan, sampai saat ini, yang mendapatkan layanan jaringan Internet dari seluruh kabupaten tersebut masih sebanyak 400 kabupaten. Sisanya, sebanyak 114 kabupaten belum mendapatkan jangkauan internet.
(Baca: Tarif Interkoneksi Turun, Negara Dinilai Bisa Rugi Rp 6 Triliun)
Menurut dia, belum ada satu operator pun yang bersedia membangun jaringan untuk 114 kabupaten/kota tersebut. Padahal, sesuai dengan program Nawa Cita Presiden Joko Widodo, pada 2019, seluruh kabupaten di Indonesia harus dijangkau oleh jaringan Internet pita lebar. Program ini menekankan pembangunan Indonesia dari wilayah pinggiran atau daerah-daerah terpencil.
Rudiantara menjelaskan, dari kebutuhan investasi sebesar US$ 28 miliar, dana yang bisa disanggupi oleh seluruh operator cuma sebesar US$ 14 miliar. Jumlah itu sudah merupakan gabungan dari dana investasi Telkom Group, Indosat, XL Axiata dan operator telekomunikasi lainnya.
Artinya, masih ada kekurangan dana investasi sebesar US$ 14 miliar. Alokasinya terbagi dua, yaitu dana investasi pita lebar jaringan bergerak (mobile broadband) sebesar US$ 9 miliar dan jaringan tetap (fixed broadband) sebesar US$ 5 miliar.
Untuk mengatasi persoalan kekurangan dana investasi tersebut, pemerintah sebenarnya memiliki sejumlah opsi. Pertama, memberikan izin kepada operator baru. Namun, mengingat frekuensi sudah padat dan membutuhkan waktu lima tahun untuk merealisasikan pembangunannya, maka opsi tersebut dibatalkan.
Opsi kedua adalah memberikan kepada salah satu operator. Namun, opsi ini juga dibatalkan karena dana yang dibutuhkan sangat besar dan tidak mungkin dipenuhi oleh satu operator. (Baca: Tingkatkan Efisiensi Telekomunikasi, Pemerintah Akan Revisi Dua PP)
Opsi ketiga melalui skema network sharing yang memungkinkan operator telepon membangun jaringan secara bersama-sama. Langkah ini dimungkinkan karena beban yang ditanggung bersama-sama oleh operator menjadi lebih ringan. “Silakan, jika mau efisien, kenapa (harus) dilarang. Kami justru mendorong operator telekomunikasi untuk konsolidasi (merger).”
Untuk mewujudkannya, pemerintah sedang merivisi Peraturan Pemerintah No. 52 dan 53 Tahun 2000 tentang telekomunikasi. Melalui revisi ini, pembangunan dan pengelolaan jaringan telekomunikasi dimungkinkan dilakukan antar-operator atau network sharing.
Menurut Rudiantara, Presiden Joko Widodo sudah menyetujui rencana revisi tersebut. “Proses revisi peraturan berada di tangan Pak Darmin Nasution (Menko Perekonomian).”
Dirjen Pos dan Penyelenggaraan Informatika, Achmad M. Ramli, menekankan revisi Peraturan Pemerintah terkait dengan network sharing ditujukan untuk meningkatkan layanan kepada publik, termasuk di wilayah-wilayah terpencil di Indonesia.
Sementara itu, peneliti dari INDEF, Mohammad Reza Hafiz, menegaskan bahwa network sharing dimungkinkan jika ditujukan untuk membangun konektivitas di daerah pedalaman, terpencil dan terluar yang membutuhkan investasi besar.
“Regulasi di industri telekomunikasi tidak boleh hanya digunakan sebagai instrumen korporasi untuk meraup keuntungan, namun diselenggarakan dengan prinsip memenuhi keadilan, transparan dan persaingan usaha yang sehat,” katanya.