Ekonom Bank Dunia Ndiame Diop menyatakan industri manufaktur Indonesia berpeluang kembali ke masa jaya pada periode 1990 – 1996. Ketika itu, sektor ini tumbuh rata-rata 11 persen.
Sekarang merupakan waktu yang tepat untuk kembali mendorong industri manufaktur seiring berakhirnya era ledakan komoditas. Di sisi lain, Cina yang sebelumnya bergantung pada manufaktur mulai beralih ke konsumsi rumah tangga untuk tumbuh. Kekosongan pasar inilah yang berpotensi direbut oleh Indonesia.
Dengan catatan, kata Diop, sepanjang pemerintah konsisten atas kebijakan reformasi struktural, pertumbuhan manufaktur dapat kembali ke level 11 persen bisa dicapai dalam jangka menengah. Laju tersebut akan mendorong pendapatan masyarakat, dari saat ini hanya di kisaran US$ 3 ribu per kapita. (Baca: Pelaku Usaha Optimistis Pertumbuhan Industri 2016 Lebih Baik).
“Pemerintah harus punya long term strategy, policy framework. Kalau difasilitasi pemerintah, investor pasti masuk,” kata Diop saat roundtable discussion mengenai sektor manufaktur di kantornya, Jakarta, Kamis, 18 Agustus 2016. (Baca: Didominasi Lulusan SMP, Industri Manufaktur Kekurangan Pekerja).
Yang terpenting, dia melanjutkan, pemerintah harus memberikan kejelasan, kepastian, kemudahan, dan konsistensi kebijakan. Perbaikan kemudahan berusaha (Ease of Doing Bussiness/EoDB), misalnya, akan memberi ekspektasi positif bagi investor meskipun dampaknya baru terasa beberapa tahun kemudian. Dia berharap perbaikan EoDB gencar dilakukan agar peringkat Indonesia meningkat pada Oktober mendatang dari posisi 109 saat ini.
Untuk itu, setidaknya ada empat syarat yang ia sampaikan agar penanam modal asing berminat berinvestasi di Indonesia. Pertama, menjaga inflasi agar tetap rendah dan menghindari apresiasi kurs tukar valuta riil (Real Effective Exchange Rate/REER) yang terlalu besar.
REER di bawah 100 menunjukan bahwa nilai tukar rupiah masih kompetitif untuk mendorong ekspor. Kenaikan harga juga menjadi penyebab utama anjloknya sektor manufaktur, sebab industri ini merupakan penerima harga dan kesulitan meneruskan kenaikan (inflasi) itu kepada pelanggan.
Kedua, kenaikan produktivitas tenaga kerja. Meskipun sebagian berpendapat bahwa upah rendah merupakan keunggulan, sayangnya eminensi hilang lantaran kalah dengan produktivitas tenaga kerja sehingga menjadi lebih berdaya saing. (Baca: Ekonomi Lesu, Industri Manufaktur Kuartal II Diprediksi Turun).
Ketiga, menurunkan biaya logistik. Biaya logistik di Indonesia sekitar 24 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), menunjukan besarnya biaya tidak langsung akibat kesenjangan dalam infrastruktur serta dibatasi oleh prosedur izin dan lisensi yang harus dibayarkan oleh perusahaan.
Bagi Indonesia, perbedaan itu bernilai sekitar US$ 70 miliar dalam tambahan biaya per tahun,” ujar Diop.
Rincian Biaya Logistik | Indonesia | Thailand | Malaysia |
Biaya transportasi dan penanganan peti kemas | 45 persen | ||
Biaya persediaan | 26 persen | ||
Biaya pergudangan | 17 persen | ||
Administrasi logistik | 17 persen | ||
Total Biaya Logistik | 24 persen | 16 persen | 13 persen |
Sumber: Bank Dunia
Keempat, menyusun strategi industri yang kuat dan menyentuh. Diop menegaskan, bahwa pemerintah harus membuat kebijakan yang konsisten, jelas, dan memberi kepastian bagi pengusaha. Selain itu, pemerintah juga perlu mempermudah izin masuknya penanam modal asing di Indonesia.
Hal itu telah dilakukan oleh Cina sejak membuka diri terhadap asing baik dari sisi modal ataupun teknologinya. Hasilnya, industri manufaktur di sana berkembang dan menjadi pendorong pendapatan masyarakat. (Baca juga: 20 Investor Cina Cari Peluang Bisnis di Indonesia).
“Indonesia memiliki aturan yang paling banyak. Untungnya, dengan Paket Kebijakan sepanjang konsisten semestinya akan memperbaiki birokrasi,” tutur Diop.