Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno bisa memaklumi keterlambatan pembangunan pembangkit listrik yang digarap PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sebab, perusahaan BUMN ini memiliki banyak pekerjaan rumah, termasuk membangun jaringan transmisi listrik. Padahal, Presiden Joko Widodo sebelumnya menyoroti masalah tersebut lantaran berdampak terhadap penyelesaian megaproyek listrik 35 ribu gigawatt (GW) yang merupakan program pemerintah.
Rini mengaku selalu memantau dan mengevaluasi perkembangan proyek pembangkit listrik 35 GW. “Setiap dua minggu saya selalu tanyakan kepada direksi (PLN), bagaimana perkembangannya,” kata dia seusai menghadiri acara penandatanganan perjanjian lindung nilai (hedging) tiga bank BUMN dengan delapan perusahaan di Gedung Bank Indonesia (BI), Jakarta, Rabu (25/5).
Berdasarkan hasil pemantauan tersebut, Rini mengetahui PLN sudah melakukan perjanjian jual-beli tenaga listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) atas 17 GW dari 35 GW pembangkit listrik yang akan dibangun hingga 2019 mendatang. Itu merupakan pembangkit listrik yang akan dibangun oleh perusahaan swasta. “Hari ini saya lihat posisi PLN di semua provinsi, apakah cukup atau kurang,” katanya.
Secara tidak langsung, Rini mengakui tugas berat yang diemban PLN untuk mendukung penyelesaian pembangunan pembangkit listrik 35 GW dalam kurun 3-4 tahun ke depan. Apalagi, banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan karena banyak pembangkit listrik yang sudah dibangun sejak delapan tahun lalu namun hingga kini belum rampung.
(Baca: Proyek Listrik Molor, Sudirman: Presiden Evaluasi Manajemen PLN)
Selain itu, PLN juga bertanggung jawab membangun jaringan transmisi listrik untuk mendukung pembangkit tersebut. Jaringan transmisi yang harus dibangun tersebut sangat panjang, yaitu sekitar 46 ribu kilometer di seluruh Indonesia. “Jadi ini pekerjaan yang besar. Kami jaga terus agar ini bisa dilakukan secara baik,” ujar Rini.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengaku, Presiden Joko Widodo telah meminta melakukan evaluasi terhadap kinerja PLN. Yaitu evaluasi manajemen, baik manajemen pengambilan keputusan dan manajemen pengadaan di tubuh PLN. “Manajemen PLN, decision making-nya bagaimana, dan kemudian proses procurement,” katanya, Rabu pekan lalu (18/5). Evaluasi itu dilakukan agar langkah PLN tetap selaras dengan kebijakan pemerintah untuk membangun pembangkit listrik 35 GW.
(Baca: Pemerintah Pertanyakan Kemampuan Pendanaan PLN Bangun Pembangkit)
Pada Jumat sebelumnya, Sudirman memang telah dipanggil Presiden untuk menanyakan perkembangan kemajuan proyek listrik 35 GW. Sebab, sudah banyak investor dan pelaku usaha menanyakan perkembangan proyek tersebut.
Kementerian ESDM pun mencatat, pembangunan proyek pembangkit listrik 35 GW berjalan lambat. Hingga bulan lalu, hanya ada 0,6 persen pembangkit 35 GW yang sudah beroperasi. Sisanya masih dalam tahap perencanaan, pengadaan, dan konstruksi.
(Baca: PLN Ubah Syarat, Pertamina Ancam Mundur dari Proyek Listrik Jawa 1)
Sudirman melihat, masalah utama pembangunan pembangkit listrik adalah kurangnya komunikasi dan kerjasama antara PLN dengan pihak-pihak terkait. Alhasil, megaproyek ini mulai dari proses perencanaan hingga pembangunannya tidak dapat berjalan lancar.
Salah satu contohnya adalah kelambanan PLN menyerahkan revisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). PLN baru menyerahkan peta jalan pembangkit listrik saat tenggat waktu yang ditetapkan pemerintah pada akhir pekan lalu. Padahal, RUPTL itu penting sebagai pegangan bagi pemerintah dan investor untuk merencanakan proyek pembangunan pembangkit 35 GW.
Sementara itu, Wakil Ketua Unit Pelaksanaan Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional (UP3KN) Agung Wicaksono pernah juga menyoroti kinerja manajemen PLN. “Alasan PLN (menunda keputusan proyek) tidak konsisten,” ujarnya kepada Katadata, Rabu (18/5).
(Baca: Empat Faktor Penghambat Realisasi Megaproyek Listrik 35 GW)
Ia mengungkapkan, pemangkasan kewenangan Dewan Komisaris PLN turut menghambat penyelesaian proyek. Pihak direksi mengambil alih semua tanggung jawab dan memangkas kewenangan dewan komisaris dalam pelaksanaan lelang proyek.
Agung mencontohkan, terhambatnya pembangunan proyek Jawa-5 merupakan tanggung jawab PLN. Seperti diketahui, manajemen PLN secara sepihak membatalkan proses lelang pembangunan pembangkit listrik tersebut.
Dalihnya, PLN meragukan pengalaman peserta lelang dalam membangun proyek pembangkit listrik. Padahal, menurut Agung, lelang tersebut telah menggunakan skema ekspansi dan lelang terbatas. Dengan begitu, investor yang lolos seleksi sudah dapat dibuktikan kemampuannya.